Wednesday, 3 July 2013

Materi Semantik atau Jenis-Jenis Makna (قياس المعنى)

Banyak orang mengira bahwa makna cukup dengan menjelaskan sebuah kalimat atau kata. Para ilmuan telah membedakan antara jenis-jenis makna dengan menjelaskannya terlebih dahulu daripada batasan-batasan makna suatu kalimat.
Dr. Muhammad Muhktar ‘Umad telah mengklasifikasikan jenis-jenis makna ke dalam lima jenis di antaranya sebagai berikut:
1. Makna Dasar/Asasi (المعنى الأساسى). Makna ini sering disebut juga sebagai makna awal (المعنى الأولى), atau makna utama (المعنى المركزى), makna gambaran (المعنى التصورى), atau makna pemahaman/conceptual meaning (المعنى المفهومى), dan makna kognitif (المعنى الإدراكي). Makna ini merupakan makna pokok dari suatu bahasa. Makna ini pun memiliki hubungan erat dengan makna bahkan bisa dikatakan sama dengan makna dalam fonologi atau nahwu.
Hubungan dengan fonologi karena suara (fon) dapat membentuk suatu makna gambaran (المعنى التصورية) dalam ilmu semantik. Hubungan makan ini dengan ilmu nahwu karena dapat dipecah menjadi susunan yang membentuk unit makna (الوحده الدلالة). Unit makna bergabung dan melahirkan suatu makna, sama halnya dalam ilmu nahwu seperti adanya suara, morfem terikat, kata, susunan kata, dan kalimat (صوت, المرفيم المتصلة, الكلمة, التركيب, الجملة).
Contohnya kalimat إمراة memiliki makna konseptual seperti berikut:
إمراة = + إنسان – ذكر + بالغ atau
Wanita = manusia, bukan laki-laki, baligh (dewasa).
2. Makna Tambahan (المعنى الإضافي أو العرضي أو الثانوي أو التضمني), yaitu makna yang ada di luar makna dasarnya. Makna ini dapat dikatakan sebagai makna tambahan dari makna dasar namun makna ini tidak tetap dan perubahannya menyesuaikan dengan waktu dan kebudayaan pengguna bahasa.
Contohnya kata ‘wanita’ (إمراة) yang memiliki makna dasar ‘manusia bukan lelaki yang dewasa’. Jika kata ini ditambahi dengan makna tambahan, maka banyak sekali makna yang akan timbul dari kata tersebut. Seumpama jika kata ‘wanita’ dimaknai oleh sebuah kelompok dengan ‘makhluk yang pandai memasak dan suka berdandan’, maka inilah makna tambahan yang keluar dari kata ‘wanita’ tersebut. Atau jika ‘wanita’ dimaknai dengan ‘makhluk yang lembut perasaannya, labil jiwanya, dan emosional’. Kedua makna tambahan ini tidak berlaku tetap sebagai makna tambahan dari kata ‘wanita’. Apabila suatu kelompok pada zaman tertentu menggunakannya maka makna tambahan itu masih berlaku. Namun jika makna itu sudah tidak dipakai lagi, maka tidak berlaku pulalah makna tambahan itu.
Contoh lainnya adalah kata ‘Yahudi’ (يهودي) memiliki makna dasar ‘orang yang menganut suatu agama Yahudi’ juga memiliki makna tambahan yaitu ‘orang yang jahat, licik, rakus, pelit, penentang, dsb.’
3. Makna Gaya Bahasa/Style (المعنى الإسلوبي), yaitu makna yang lahir karena disebabkan karena penggunaan bahasa tersebut. Penggunaan bahasa dapat dilihat dalam bahasa sastra, bahasa resmi, bahasa pergaulan, dan lain sebagainya. Perbedaan penggunaan bahasa menimbulkan gaya yang berbeda dengan makna yang berbeda pula. Dalam bahasa sastra sendiri memiliki perbedaan gaya bahasa seperti gaya bahasa puisi, natsr, khutbah, kitabah, dan lain sebagainya.
Kata daddy digunakan untuk panggilan mesra kepada sang ayah, sedangkan father digunakan sebagai panggilan hormat dan sopan kepada sang ayah. Kedua kata ini ternyata berpengaruh terhadap penggunaan bahasa yang bermakna ‘ayah’ dalam bahasa Arab.
Kalimat داد digunakan oleh orang-orang aristokrat yang memiliki jabatan yang tinggi. Kalimat الولد – والدي digunakan sebagai bahasa sopan dan hormat. Kalimat بابا – بابي digunakan dalam bahasa ‘Ammiyah Raaqin (عامي راق). Dan kalimat أبويا – آبا digunakan dalam bahasa ‘Aamiyah Mubtadzil (عامي مبتذل).
4. Makna Nafsi (المعنى النفسي) atau makna objektif, yaitu makna yang lahir dari suatu lafadz atau kata sebagai makna tunggal
5. Makna Ihaa’i (المعنى الإيحائي), yaitu jenis makna yang berkaitan dengan unsur lafadz atau kata tertentu dipandang dari penggunaannya. Dalam makna ini memiliki tiga pengaruh di antaranya sebagai berikut:
a) Pengaruh suara (fonetis), contohnya seperti suara-suara hewan yang menunjuk langsung pada hewan itu.
b) Pengaruh perubahan kata (sharfiyah) berupa akronim atau singkatan. Contohnya بسمله singkatan dari بسم الله الرحمن الرحيم, حمدله, صهصلق (من صهل وصلق).
c) Pengaruh makna kiasan yang digunakan dalam ungkapan atau peribahasa.

Dalam bukunya, Geoffrey Leech membedakan makna pada tujuh unsur yang berbeda, yaitu sebagi berikut:
1. Makna Konseptual, yaitu makna yang menekankan pada makna logis. Kadang-kadang makna ini disebut makna ‘denotatif’ atau ‘koginitif’. Makna konseptual memiliki susunan yang amat kompleks dan rumit, namun dapat dibandingkan dan dihubungkan dengan susunan yang serupa pada tingkatan fonologis maupun sintaksis.
2. Makna Konotatif,
3. Makna Stilistik,
4. Makna Afektif,
5. Makna Refleksi,
6. Makna Kolokatif,
7. Makna Tematik,

Para Ilmuan bahasa menggunakan ukuran makna untuk memperjelas tujuan makna. Ada bebarapa ukuran makna seperti di bawah ini:
1. Ukuran makna dasar pada kata-kata yang berlawanan. Pada dua kata yang berlawanan kata dan penggunaannya sesuai realita objektif padahal menunjukkan makna yang umum. Penggunaan kata ini mempengaruhi makna sehingga terjadi penyempitan makna untuk kata masing-masing. Seperti kata ‘panas’, ‘hangat’, ‘sedang’, ‘sejuk’, ‘dingin’, dan ‘beku’. Semua kata itu menunjukkan makna umum, yaitu cuaca namun perbedaan penggunaannya disebabkan karena realita yang ada. Perbedaan makna pada kata-kata di atas dibedakan karena tingkat kenyataannya.
2. Ukuran perbedaan dalam makna objektif dengan menyandarkan pada pemahaman orang yang berbeda-beda. Ukuran makna ini telah dijelaskan oleh Charles E. Osgood dengan teorinya yaitu ‘Psycho-semantics’. Dalam ukuran makna ini, sebuah kata memiliki perbedaan yang jelas dalam maknana dengan kata yang lain. Contohnya kata خشن yang berarti ‘kasar’ dan kata ناعم yang berarti ‘lembut’. Ukuran makna ini juga disebut sebagai lawan kata atau antonimi
3. Ukuran psikologi pengguna bahasa. Ukuran makna tergantung pada segala hal yang berhubungan langsung dengan psikologi manusia. Pemahaman manusia sangat mempengaruhi makna, apabila pemahaman sempit, maka makna itu menjadi sempit dan apabila pemahamannya luas maka makna itu akan menjadi luas. Perubahan makna kata menjadi lebih sempit dinamakan peyorasi sedangkan perubahan makna kata menjadi lebih luas dinamakan ameliorasi.
4. Ukuran tingkat makan seperti pada makna ‘ahdats’ (tertawa, berbicara, membaca, dan menulis) dan kata-kata sifat seperti cerdas, panjang, bodoh, mahir, dan lain sebagainya.

TAFSIR Ayat-Ayat Tentang Gender

BAB I
PENDAHULUAN 
Gender berasal dari bahasa latin yaitu genus, yang memiliki arti tipe atau jenis. Dalam bahasa inggris, gender yang artinya jenis kelamin atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan (pernikahan).
Secara Etimologi, gender yaitu perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan, dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam “women studies encyclopedia” dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural, dan berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, tingkah laku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. 
Istilah “gender” ini pertama kali digunakan oleh Oakley yang diartikan sebagai “behavior differences between women and men that are socially constructed created by men and women themselves therefore they are matter of culture”, yang diartikan sebagai (gender) sifat atau prilaku yang diletakkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial dan budaya. Karena dibentuk oleh social budaya maka gender tidak berlaku selamanya tergantung pada waktu dan tempat.
Bisa gender yang berkembang dalam masyarakat mempengaruhi peran dan posisi manusia berdasarkan jenis kelamin. Bahkan terkadang mempengaruhi manusia dalam mendapatkan hak dan kewajiban.

BAB II
PEMBAHASAN
Ayat-Ayat Al-Qur’an Tentang Makna Gender
1. Sikap Masyarakat Sebelum Islam Terhadap Perempuan (An-Nahl 16: 58-59)

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالأنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ (58) يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ (59)
Artinya: 58.  Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.
59. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.
Tafsir 
Apabila diberitahukan salah seorang dari mereka bahwa Allah mempunyai anak perempuan, bahwa isteri mereka telah melahirkan seorang anak perempuan, merah padam mukanya akibat kekecewaannya. Dalam dadanya penuh rasa marah dan dendam, lalu mereka menyembunyikan diri karena malu dan timbullah dalam pikirannya “Apakah akan dibiarkan anak itu hidup dengan menanggung kehinaan, tidak diberi pusaka dan tidak mendapat layanan yang layak, ataukah dikubur hidup-hidup. 
Sungguh sangat jahat (kebutuhan) apa yang mereka katakana dan apa yang mereka sandarkan kepada Allah.
2. Kepemimpinan Perempuan (An-Nisa 4: 34, At-Taubah, 9: 71)
a. An-Nisa 4: 34
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diriketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
Tafsir 
Diantara tugas kaum laki-laki adalah melindungi kaum perempuan. Ini sebabnya, peperangan hanya diwajibkan kepada laki-laki, tidak kepada kaum perempuan. Begitu pula tugas menafkahi jeluarga. Peperangan merupakan suatu urusan melindungi bangsa dan negara. Inilah yang menjadi dasar , mengapa kaum laki-laki memperoleh bagian yang lebih banyak dalam harta warisan.
Tapi diluar hak-hak yang disebutkan (hak mengendalikan, menuntut, dan memimpin) maka dalam masalah hak atau kewajiban yang lain, laki-laki dan perempuan adalah sama.
Derajat yang dimiliki laki-laki adalah memimpin dan mengurus rumah tangga. Isteri mengurus rumah tangga dengan bebas, asal dalam batas-batas yang ditetapkan syara’ dan diridhai (disetujui) oleh suami. Isteri memelihara rumah, mengendalikannya dan memelihara serta mendidik anak-anak, termasuk membelanjakan nafkah keluarga sesuai dengan kemampuan. Dibawah naungan suami, isteri bisa menjalankan tugasnya, mengandung dan mengyusui bayinya. 
Perempuan-perempuan yang soleh adalah mereka yang menaati suami, merahasiakan segala apa yang terjadi diantara keduanya tidak diceritakan atau diberitahukan kepada siapapun termasuk kepada kerabat.
Jika kamu melihat ada indikasi (tanda-tanda) bahwa isteri tidak akan menjlankan kewajiban-kewajiban (durhaka) yang harus dilaksanakan. Maka berikut ini berupa tindakan-tindakan edukatif (bersifat mendidik) yang bias dilakuakn:
1) Berilah nasehat atau pendapat yang bisa mendorong isteri merasa takut kepada Allah dan menginsafi bahwa kesalahan-kesalahan yang dilakukannya akan memperoleh siksa dari Allah pada hari kiamat kelak.
2) Jauhi dia, misalnya: dengan tidak tidur seranjang bersamanya.
3) Pukullah dengan kadar pukulan yang tidak menyakitinya. Hal ini boleh dilakukan apabila keadaan memaksa. Yakni, ketika isteri sudah tidak lagi bisa dinasehati dan dinsyafkan dengan ajaran-ajaran yang lemah lembut. Tapi sebenarnya suami yan baik dan bijaksana, tidak memerlukan tindakan yang ketiga.
Jika si istri kembali menaatimu setelah kamu mengambil diantara tindakan-tindakan yang diperlukan seperti telah disebutkan, maka janganlah kamu menganiaya dia mulai dengan memberikan nasehat atau memberikan peringatan, kemudian meningkat dengan berpisah ranjang atau membiarkan isteri tidur sendiri dan terakhir memukulnya. Tetapi jika dengan langkah-langkah ini tetap tidak membawa hasil maka serahkan kepada pihak ketiga (hakam, mediator) dari keluargamu dan keluarga si istri. Apabila si istri secara lahiriah telah menunjukan kembali kebaikannya, dalam arti mau rukun lagi, janganlah dicari-cari latar belakang sikapnya, atau mengungkit-ungkit sikap itu.
Allah memperingatkan kita dengan kekuasaan dan kebesaran-Nya. Sikap kita tidak menzalimi istri dan tidak berlaku curang. Dia akan memberikan siksanya kepada suami yang berlaku kurang baik terhadap isterinya dengan menonjolkan kekuasaannya sebagai suami dan memperlakukan istri yang kurang baik. 
b. At-Taubah, 9: 71
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Tafsir 
Orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan, sebagian dari mereka adalah penolong dan pembantu bagi sebagian yang lain. Mereka satu dengan yang lain bertolong-tolongan, Bantu-membantu, baik dalam masa damai ataupun masa perang mereka satu dengan yang lain bersaudara dan berkasih sayang.
Para mukmin baik laki-laki maupun perempuan, memiliki sifat sebagai lawan dari orang-orang munafik.  
1. Orang-orang yang beriman menyuruh yang makhruf, sedangkan orang-orang munafik menyuruh yang mungkar. 
2. Orang-orang mukmin mencegah kemungkaran, sedangkan orang munafik mencegah yang makhruf. Dua sifat ini merupakan sifat pokok dari sifat-sifat orang mukmin.
3. Orang-orang mukmin mendirikan sembahyang dengan baik dan secukup-cukupnya, serta menyempurnakan rukun dan syaratnya selain itu juga berlaku khusyuk dan hatinya munajat (berkomunikasi) kepada Allah. 
4. Orang-orang mukmin memberikan zakat yang difardukan dan yang disunnahkan, sedangkan orang-orang munafik berlaku kikir, kalaupun mereka mengeluarkan harta, maka hal itu atas dasarNya.
5. Orang-orang mukmin terus menerus mentaati Allah dengan meninggalkan apa yang dilarang dan mengerjakan apa yang diperintah oleh Allah. 
Mereka itu adalah orang-orang yang dirahmati oleh Allah dan dimasukkan kedalam rahmat-Nya yang luas. Allah itu maha keras tuntutannya, dan tidak ada yang mampu menghalangi tuntutannya. Selain itu Allah maha hakim dalam segala perbuatannya, yang senantiasa menempatkan sesuatu pada tempatnya.

3. Kesamaan Laki-laki dan Perempuan (Al-Isra’ 17: 70, Ali Imron 3: 195, Al-Ahzab 33: 35)
a) Al-Isra 17: 70.
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلا
Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.
Tafsir 
Kami (Allah) telah memuliakan anak adam dengan memberikan akal dan pikiran kepada mereka, sehingga mereka dapat menundukkan apa yang ada di alam ini, seperti air dan udara. Kami memuliakan mereka dengan menjadikan bentuk tubuh mereka yang indah yang tegak berdiri (gagah). Kami memberikannya rezeki dengan berbagai macam makanan yang baik, dan tumbuhan atau pun binatang, serta kami utamakan mereka atas mahkluk kami. Oleh karena itu, tidaklah layak mereka mempersekutukan Allah dan terus menerus menyembah berhala.
Apakah anak adam lebih utama dari malaikat? Masalah diperselisihkan oleh para ulama. Ada yang menyatakan bahwa malaikat tidak termasuk dalam mahluk yang dimaksud di dalam ayat ini tidak ada dalil bagi masing-masing golonggan.
b) Ali-Imron 3: 195
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَأُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأُوذُوا فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُوا وَقُتِلُوا لأكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلأدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ ثَوَابًا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain[259]. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, Pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan Pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."
Tafsir 
Allah memenuhi doa mereka lantaran iman, zikir, takzir (mengingat Allah), menyucikan-Nya dari segaa kekurangan, membenarkan Rosul, merasa lemah dan bersyukur dan merasa berhajat (mengharapkan) kepada ampunan Allah.
Allah mengabulkan doa mereka dengan memberikan pembalasan yang sempurna pada hari kiamat kelak, baik yang beramal itu lelaki atau perempuan. Tidak ada perbedaan diantara mereka. Keadilan menghendaki persamaan dalam memberikan pembalasan. Dan pembalasan itu diberikan lantaran amal, bukan karena sesuatu yang lain.
Dari ayat ini kita dapat mengambil beberapa kesimpulan: 
1. Mengabulkan sesuatu doa terkadang bukan dengan memberikan apa yang diminta. Mereka memohon supaya diampuni dosanya, ditutupi kejahatannya, dan diwafatkan berserta orang-orang ang berbakti. Tuhan mengabulkan permohonan mereka dengan menjelaskan bahwa semua orang yang beramal akan memperoleh pembalasan yang sempurna atas amalnya itu. Hal ini memberi pengertian bahwa yang melepaskan kita dari azab hanyalah amal yang dilakukan dengan sebaik-baiknya dan berdasarkan rasa ikhlas.
2. Lelaki dan perempuan adalah sama mereka bersamaan di sisi Allah dalam menerima pembalasan, apabila amalan-amalan mereka bersamaan pula. 
Penyebab persamaan karena lelaki merupakan bagian dari perempuan, demikian pula sebaliknya. Orang lelaki dilahirkan dari orang perempuan (ibu), dan orang perempuan juga dilahirkan karena ada orang laki-laki (ayah). Tidak ada perbedaan tentang rasa kemanusiaannya dan tak ada pula yang saling melebihi, hanya karena amalan (ketaqwaan-Nya). 
3. Menempatkan perempuan pada posisi yang tinggi.
4. Memperbaiki cara orang laki-laki mempergauli perempuan serta membantah dengan keras muamalah yang kejam (diskriminatif) yang masaih dilakukan oleh sebagian umat.
Keutamaan yang diberikan kepada lelaki dengan ditugasi melakukan beberapa pekerjaan yang tidak ditugaskan terhadap perempuan tidak menjadi sebab lelaki bias memperoleh keutamaan dalam segi pahala.
Perbuatan yang bisa menutupi kejahatan (kemaksiatan) sehingga mengantarkanya ke surga adalah hijrah dari tanah airnya untuk berkhikmat (berbakti) kepada Rosul dan mengalami pengusiran dari kampung halaman dan gangguan di jalan Allah, serta berjuang dan menghadang maut karena Allah.
Mengapa Tuhan membebani kita dengan beban yang berat, karena kebenaran tidak bisa berdiri sendiri, kecuali apabila ada yang menolongnya (menegakkannya), serta menentang segala setru-setru (musuh)-Nya, sehingga menjadikan kalimat Allah menempati posisi tinggi dan kalimat yang batil menjadi rendah.
Allah akan membalas perbuatan-perbuatan tersebut dengan hal-hal yang tiga ini: 
1) Menghapus segala kejahatan dan mengampuni dosa
لا كفر ن غنهم سئا تهم
“Sungguh aku akan menutup kejahatan-kejahatan mereka”.
Itulah yang mereka mintakan dengan ucapan mereka:
********

“Maka ampunilah dosa-dosa kami dan tutuplah kejahatan-kejahatan kami”. 
2) Memberi pahala yang besar
Ini yang dimaksud firman Allah: 
*******
“Dan sungguh aku akan masukkan mereka ke dalam surga yang dibawah mengalir sungai-sungai”. 
Inilah yang mereka mohonkan dengan ucapan:
***************
“Dan berikan kepada kami, apa uang Engkau janjikan kepada kami membenarkan Rosul-rosul Engkau”. 
3) Pahala yang besar yang disertai dengan kemuliaan dan kebesaran inilah yang ditunjuki oleh firman Allah:
******
Dan itulah yang mereka mohonkan dengan ucapan:
******
“Dan janganlah Engkau hinakan kami pada hari kiamat”.
Oleh karena itu maka ayat ini selengkapnya ialah: Sungguh Aku akan menutup kejahatan-kejahatan (kemaksiata) mereka, sungguh aku akan memasukan mereka ke dalam surga dan aku akan memberikan pahala dengan pembalasan dari ku yang tidak sanggup diberikan oleh orang lain.
Itulah pahala paling baik yang diberikan kepada orang yang beramal saleh. Yang demikian itu hanya dapat diberikan oleh Allah saja, tidak oleh yang lain. Firman ini menguatkan keutamaan pahala yang diberikan. 
Ayat ini memberi peringatan bahwa pembalasan itu dikaitkan dengan amal, bukan dengan sesuatu yanglain, seperti jabatan, keturunan, atau status sosial ekonomi seseorang selama di dunia. Juga memberikan peringatan bahwa islam menghapuskan perbedaan-perbedaan (diskriminasi) antara lelaki dan perempuan dalam masalah pahala. Islam adalah agama yang pertama kali memuliakan perempuan dan mengakui hak-haknya. 
c) Al-Ahzab 33: 35
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
Tafsir 
Dalam ayat ini, Allah menerangkan sifat-sifat yang dapat menghapuskan dosa dan memperoleh pahala yang kekal:
1. Patuh melaksanakan hokum-hukum agama, baik yang mengenai ucapan ataupun yang mengenai perbuatan.
2. Batin membenarkan apa yang difardukan oleh agama (iman).
3. Melaksanakan amal ibadah dengan penuh kekhusyuan dan keikhlasan secara tetap.
Tertip (urutan) firman ini membenarkan pengertian bahwa pada mulanya iktikad (keyakinan) dan tashliq (pembenaran) yang sempurna atau iman yang kamil (sempurna) berwujud sesuatu anggota badan patuh mengerjakan perintah dan menjauhi larangannya. Apabila iman dan islam telah terhujam dalam jiwa seseorang maka lahirlah prilaku khusyuk dan ikhlas yang sempurna.
4. Berlaku benar dalam ucapan dan perbuatan. Benar itu adalah tanda iman, sebagaimana berdusta adalah tanda nifak.
5. Sabar menderita kesukaran-kersukaran dan kesulitan-kesulitan dalam menunaikan ibadah dan menjauhi hawa nafsu.
6. Khusyuk dan merendahkan diri kepada Allah dengan hati dan anggota tubuh.
7. Bersedekah dengan harta dan berbuat ikhlas kepada semua orang yang membutuhkan pertolongan.
8. Berpuasa. Puasa adalah cara yang ampuh dalam mematahkan hawa nafsu.
9. Memelihara dari zina.
10. Menyebut nama Allah dengan lisan dan hati.
Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abi Said al-khudri bahwa Rasulullah bersabda:
**********
”Apabila seorang suami membangunkan istrinya dimalam hari, lalu keduanya bersembahyang dua rekaat, maka keduanya pada malam itu tergolong kedalam golongan orang yang banyak menyebut nama Allah”.
Kepada mereka yang melaksanakan semua sifat yang sudah dijelaskan tersebut diberikan ampunan dan pahala yang besar di dalam surga janatun na’im sebagai pembalasan atas amal usahanya.

BAB III
KESIMPULAN
Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa seorang laki-laki dan perempuan saling mempunyai kesamaan dan perbedaan gender dalam suatu keluarga.
Kesamaannya yaitu sama-sama mempunyai tugas untuk membuat kelurga itu nyaman, tentram dan damai. Sama-sama bertanggung jawab atas apa yang terjadi didalam kelurga itu.
Perbedaannya Cuma didalam tugas dan penempatanny. Semua suami bertugas menjadi kepala rumah tangga dan bertugas mencukupi nafkah lahir batin kelurganya. Sedangkan seorang istri bertugas mengatur keuangan dan mengatur dan merawat anak-anak. Jadi pada intinya semua antara suami, istri, anak-anak saling bekerjasama agar terwujudnya keluarga yang sakinah, mawadah dan warohmah.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, 1987, Tafsir Al-Maraghi, Semarang: CV. Toha Putra.
M. Quraish Shihab, 2002, Tafsir Al-Mibah, Jakarta: Lentera Hati. 
Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, 2004, Tafsir Qur’anul Karim, Jakarta: Hida Karya Agung.
TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, 2000, Tafsir Qur’anul Majid An-nur 3, Semarang: Pustaka Rizki Putra.

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah AWT yang telah memberikan berkahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tafsir ini dengan tujuan semoga dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Tidak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Drs. H. Hadi Rahmat, MA selaku dosen mata kuliah tafsir yang telah memberikan bimbingan kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu dalam menyelesaikan pembuatan makalah tafsir ini.
Penulis menyadari bahwa pembuatan makalah tafsir ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun agar dalam pembuatan makalah yang selanjutnya dapat lebih baik lagi. Amin.

Dalam Kajian Ushul Al-Fiqh Dan Contohnya

a. Qiyas adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah atau al- Hadits dengan hal (lain) yang hukumnya disebut dalam al-Qur’an dan Sunnah Rosul (yang terdapat dalam kitab-kitab hadits) karena persamaan illat (penyebab atau alasan) nya.
b. Ihtisan adalah cara menentukan hukum dengan jalan menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial .
c. Maslahah mursalah adalah cara menentukan hokum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik di dalam al-Qur’an maupun dalam kitab-kitab hadits, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum.
d. Urf adalah adat istiadat yang tidak bertentangan dengan hukum Islam dapat dikukuhkan tetap terus berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan.
Cara mengaplikasikan konsep maslahah mursalah dalam pemecahan hukum, menurut Al-Ghozali adalah :
a. Maslahat tersebut harus sejalan dengan tujuan penetapan hukum islam yaitu, memelihara agama, jiwa, akal, harta, keturunan atau kehormatan.
b. Maslahat tersebut tidak boleh bertentangan dengan al-Quran, as-Sunnah dan ijma’.
c. Maslahat tersebut menempati level daruriyah atau hajiyah yang setingkat dengan daruriyah.
d. Kemaslahatannya harus bersifat qath’i atau zann yang mendekati qath’i.
e. Dalam kasus-kasus tertentu diperlukan persyaratan, harus bersifat qathiyyah, daruriyah dan kulliyah. 
Imam al-Ghazali memandang  maslahah-mursalah  hanya  sebagai  sebuah  metode  istinbath (menggali/penemuan) hukum, bukan sebagai dalil atau sumber hukum Islam. Ruang lingkup operasional maslahah mursalah hanya berlaku di bidang muammalah saja dan tidak berlaku dalam bidang ibadah.

2. Konsep Thariq Istimbatul Hukm adalah mengambil hokum dari dalil-dalil syara’. Kaidah itu biasa bersifat lafzhiyah, seperti dilalah (penunjukan) suatu lafazh terhadap arti tertentu, cara mengkompromikan lafazh terhadap arti tertentu. 
Cara operasionalisasi metode qiyas dalam pemecahan hukum yakni, dalam rukun dan syarat qiyas, telah disebutkan bagaimana cara pemecahan hukum menggunakan qiyas.
Rukun qiyas adalah :
a. Al-ashlu atau objek qiyâs, dimana diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.
b. Hukum asli adalah hukum syar'i yang ada dalam nash atau ijma', yang terdapat dalam al-ashlu.
c. Al-far’u adalah sesuatu yang dikiaskan, karena tidak terdapat dalil nash atau ijma' yang menjelaskan hukumnya.
d. Al-‘illah adalah sifat hukum yang terdapat dalam al-ashlu dan merupakan benang merah penghubung antara al-ashlu dengan al-far'u. 
Dari rukun qiyas diatas, dapat disimpulkan bahwa cara operasionalisasi pengambilan dengan metode qiyas dilakukan dengan tahap-tahap diatas.
Setelah kita mengetahui rukun Qiyas itu terbagi empat bagian yaitu : Al-ashlu, hukmu al-ashli, Al- Far’u, dan ‘Illat, maka dengan demikian tentunya kita harus mengetahui pula syarat-syaratnya masing-masing agar dalam melaksanakan tindakan hukum tidak tersesat dan atau menyesatkan, diantara syarat-syaratnya sebagai berikut : 
a. Syarat asal atau pokok, Hukum Ashal harus masih tetap atau masih.
b. Syarat far’I, Hukum Far’i janganlah berwujud lebih dahulu daripada hukum ashal, ‘Ilat. Hendaknya menyamai ‘ilatnya Ashal/Pokok, hukum yang ada pada far’i itu menyamai hukum ashal/pokok.
c. Syarat ‘illat hendaknya “ilat itu berturut-turut. artinya jika ‘illat itu ada , maka dengan sendirinya hukumpun ada, dan sebaliknya. “Illat jangan menyalahi Nash, karena “illat itu tidak dapat mengalahkannya maka dengan demikian Nash lebih dahulu mengalahkan ‘illat. 
Contohnya adalah Qiyâs keharaman extasy atau pil koplo atau narkotika atau sabu-sabu.  Hukum mengkonsumsi extasy atau pil koplo tidak tertulis secara eksplisit di dalam al-Qur'an ataupun hadist. Namun dalam al-Qur'an surat al-Mâidah ayat 90, Allah SWT berfirman:  Artinya:  "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan." (al-Mâidah: 90)  
Pada ayat diatas, Allah menerangkan keharaman minum khamer. Maka metode qiyâs dapat digunakan untuk menetapkan hukum mengkonsumsi extasy atau narkotika;  
a. Al-Ashlu: minuman keras atau khamer  
b. hukum asli: haram  
c. Al-far'u: extasy  
d. Al-'illah: memabukkan 
Disimpulkan bahwa antara extasy dan minum khamer terdapat persamaan dalam 'illat, yaitu sama-sama memabukkan sehingga dapat merusak akal. Jadi dapat disimpulkan bahwa mengkonsumsi extasy atau narkotik hukumnya haram, sebagaimana haramnya minum khamer.

3. Pendapat saya mengenai hukum bayi tabung (artificial infitro) adalah 
a. Diperbolehkan, jika bayi tabung tersebut berasal dari sel sperma dan ovum dari suami isteri sendiri dan tidak ditransfer embrionya ke dalam rahim wanita lain (ibu titipan), jika keadaan kondisi suami isteri yang bersangkutan benar-benar memerlukannya. Dan status anak hasil bayi tabung macam ini sah menurut Islam.
b. Tidak diperbolehkan (haram) jika bayi tabung ini berasal dari sperma dan atau ovum donor diharamkan (dilarang keras) Islam. Hukumnya sama dengan zina dan anak yang lahir dari hasil bayi tabung ini statusnya sama dengan anak yang lahir di luar  perkawinan yang sah.
Proses menggunakan bayi tabung ada tiga macam:
1) Proses bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami istri kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim istri, status anak yang dilahirkan tersebut dapat dipertalikan keturunannya dengan ayah beserta ibunya dan anak itu mempunyai kedudukan yang sah menurut syariat islam, ini diperbolehkan.
2) Proses bayi tabung yang menggunakan sperma donor. Ada larangan penggunaan sperma donor seperti terdapat dalam surat al-baqarah: 223 dan an-nur : 30-31. Dan di dalam hadist nabi disebutkan : “tidak ada suatu dosa yang lebih besar disisi Allah sesudah syirik dari pada seorang laki-laki yang meletakkan maninya ke dalam rahim perempuan yang tidak halal baginya”. Maka status anak yang dilahirkan seperti anak zina, maka proses ini tidak diperbolehkan. 
3) Proses bayi tabung yang menggunakan cara surrogate mother (rahim titipan). alam proses ini menurut saya tetap saja tidak diperbolehkan karena meskipun hanya meminjam rahim namun perkembangan dan pertumbuhan si bayi tetap mendapat nutrisi makanan dari ibu yang dititipi rahim tersebut dan ini juga sangat mempengaruhi perubahan pada si bayi dan percampuran nasab pada si bayi.
Bayi tabung dengan donor sperma dan atau ovum lebih mendatangkan madarat daripada maslahanya. Adapun madarat bayi tabung itu jauh lebih besar, antara lain: pencampuran nasab, bertentangan dengan sunnatullah atau hokum Islam, bayi tabung pada hakikatnya sama dengan zina, karena terjadi percampuran sperma dan ovum tanpa perkawinan yang sah, kehadiran anak hasil bayi tabung bias menjadi sumber konflik di dalam rumah tangga, terutama bayi tabung dengan bantuan donor, dan lain sebagaianya. Landasan hokum yang mengharamkan bayi tabung dengan donor ialah terdapat dalam al-Qur’an surat Al-Isra ayat 70 dan At-Tin ayat 4. 

4. “Taghyirul ahkam bi taghyirul azmanah wal amkanah”, artinya berubahnya  hukum karena adanya perubahan zaman dan tempat. Relevansi kaidah tersebut dalam penerapan konsep hukum waris dalam logika feminisme adalah, dalam perkembangan dunia yang telah  mengalami perubahan, setiap manusia dituntut untuk menyesuaikan perkembangan zaman. Tidak terkecuali dalam hukum waris Islam dalam pelaksanaannya harus dapat pula menyesuaikan perkembangan dan nilai-nilai sosial. Nilai-nilai keadilan menurut hukum waris Islam kini tela pula mengalami pergeseran nilai. Dengan semakin marakanya isu gender ini pula yang membuat tatanan hukum kewarisan Islam mengalami perubahan yang cukup mendasar. Perubahan mendasar ini terlihat dari hukum waris telah mengalami penyesuaian dengan nilai-nilai keadilan. Nilai-nilai keadilan pada zaman sekarang menuntut penyesuaian antara hak laki-laki dan perempuan. Perempuan sebagai mahluk yang mempunyai kewajiban yang sama. Sudah sepantasnya menuntut hak yang sama pula. Oleh karena ini dalam pembagian warisan menurut hukum waris Islam dituntut pula untuk memperhatikan hak laki-laki maupun hak perempuan yang sama kuatnya. Bahkan ada sebagian yang menuntut hak yang sebanding dengan hak laki-laki. Konsep inilah yang sedang tren disaat ini dikalangan masyarakat. Tren yang megganggap semua manusia mempunyak hak yang sama dihadapan hukum. Maka masyarakat pun telah merespon keiginan ini dengan menyamakan laki-laki dan perempuan sebagai ahli  waris berkenaan dengan tanggung jawab yang diembannya.
Asas hukum dalam pewarisan Islam tidak memandang  perbedaan antara laki-laki dengan perempuan semua ahli waris baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama sebagai ahli waris. Tetapi hanyalah perbandinganya saja yang berbeda. Memang didalam hukum waris Islam yang ditekankan keadilan yang berimbang dipakai, bukanlah keadilan yang sama rata sebagai sesama ahli waris. Karena prinsip inilah yang sering menjadi polemik dan perdebatan yang kadang kala menimbulkan persengketaan diantara para ahli waris. Yang dahulu wanita hanya sebagai pendamping  pria dalam mencari nafkah kini telah mengalami pergeseran. Kini perempuan tidak sedikit malah menjadi tulang punggung perekonomian keluarga. Perubahan inilah yang menjadikan perubahan sosial yang dahulu wanita merupakan sebagai mahluk kelas dua kini telah mensejajarkan  kedudukanya dengan laki-laki begitu pula dalam tuntutan dalam pembagian terhadap harta warisan. Sebab didalam sistem hukum kewarisan Islam menempatkan pembagian yang tidak sama antara laki-laki dengan perempuan. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa perbedaan gender tidak menentukan hak kewarisan dalam  Islam. Artinya sebagaimana  laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama kuatnya untuk mendapatkan warisa. Hal ini secara jelas disebut dalam alp-Qur’an dalam surah al-Nisa ayat 7 yang menyamakan kededukan laki-laki dan perempuan  dalam hak mendapatkan warisan. Pada ayat 11-12.176 surah an-Nisa secara rinci diterangkan kesamaan kekuatan hak menerima warisan antara anak laki-laki, dan anak perempuan, ayah dan ibu(ayat 11), suami dan istri (ayat12) saudara laki-laki dan perempuan (ayat 12dan 176). Ditinjau dari segi jumlah bagian saat menerima hak, memang terdapat ketidaksamaan. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak adil, karena keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan kepada kegunaan dan kebutuhan. Karena secara umum pria membutuhkan lebih banyak materi dibandingkan dengan wanita. Hal tersebut dikarenakan pria dalam ajaran Islam memikul kewajiban ganda yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap keluarganya termasuk para wanita, sebagaimana dijelaskan Allah dalam surah al-Nisa’ayat 34. Bila dihubungkan dengan jumlah yang diterima dengan kewajiban dan tanggung jawab seperti disebutkan diatas, maka akan terlihat bahwa kadar manfaat yang dirasakan laki-laki sama dengan apa yang dirasakan oleh pihak wanita. Meskipun pada mulanya pria menerima dua kali lipat dari perempuan, namun sebagian dari yang diterima akan diberikan lagi kepada wanita, dalam kapasitasnya sebagai pembimbing yang bertanggung jawab atas wanita. Inilah konsep keadilan dalam Hukum Kewarisan Islam.