BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
PP 129 Tahun 2000 menyebutkan bahwa
pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan Daerah bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui: peningkatan pelayanan kepada
masyarakat, percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, percepatan pelaksanaan
pembangunan perekonomian daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah,
peningkatan keamanan dan ketertiban, serta peningkatan hubungan yang serasi
antara pusat dan daerah.
Terjadinya berbagai konflik di masa
transisi pasca pemekaran telah menjauhkan atau paling tidak memperlambat
tujuan pemekaran daerah. Di samping itu, dari hasil studi yang dilakukan
penulis bersama Tim dari Direktorat Otonomi Daerah BAPPENAS tahun 2004,
ditemukan bahwa belum meningkatnya pelayanan kepada masyarakat di beberapa
daerah otonom baru disamping karena persoalan konflik tadi diantaranya
diakibatkan juga oleh persoalan kelembagaan, infrastruktur, dan Sumber Daya
Manusia.
Dalam aspek kelembagaan, ditemui
bahwa beberapa daerah otonom baru saat membentuk unit-unit organisasi
pemerintah daerah tidak sepenuhnya mempertimbangkan kondisi daerah dan
kebutuhan masyarakat. Pembentukan daerah otonom baru sepertinya menjadi sarana
bagi-bagi jabatan. Terlihat juga adanya kelambatan pembentukan instansi
vertikal, serta kurangnya kesiapan institusi legislatif sebagai partner
pemerintah daerah.
Untuk infrastruktur, sebagian besar
daerah otonom baru belum didukung oleh prasarana dan sarana pemerintahan yang
memadai. Banyak kantor pemerintahan menempati gedung-gedung sangat
sederhana yang jauh dari layak. Ditemui di beberapa daerah, aula sederhana
disekat-sekat papan triplek untuk ditempati beberapa dinas.
Dalam hal Sumber Daya Manusia secara
kuantitatif relatif tidak ada masalah, walaupun masih juga ditemui ada Kantor
Bappeda yang hanya diisi oleh 2 (dua) orang, yaitu 1 (satu) orang Kepala
Bappeda dan 1 (satu) orang staf. Secara kualitas yang menonjol
adalah penempatan pegawai yang tidak sesuai dengan latar belakang
pendidikan, misalnya ditemui ada Kepala Dinas Perhubungan berlatar belakang
Sarjana Sastra.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
kondisi pemekaran daerah di Indonesia dan factor yang mempengaruhinya ?
2.
Apa dampak
dari pemekaran daerah dan solusi yang tepat dalam mengatasi pemekaran daerah ?
BAB II
KAJIAN TEORI
A.
Pengertian
Pemekaran Daerah
Analisis
tentang wilayah atau daerah belum banyak ditemukan di dalam literatur-literatur
Ilmu Sosial sehingga di ditemukan sedikit kesulitan di dalam merumuskan
konsep-konsep teoritik tentang Daerah. Kemudian antara sebutan Daerah dan
Wilayah tidak berhasil ditemukan adanya perbedaan, bahkan kedua sebutan ini
sering dipertukarkan di dalam pemakaian sehari-hari. Oleh para ahli, batasan
mengenai ilmu wilayah diartikan sebagai berikut :
Ilmu wilayah adalah suatu ilmu yang mempelajari wilayah terutama sebagai suatu sistem, khususnya yang menyangkut hubungan interaksi dan interpendensi antara subsistem utama, ekosistem dengan sub sistem utama sosial sistem, serta kaitannya dengan wilayah-wilayah lainnya dalam membentuk suatu kesatuan wilayah guna pengembangan termasuk penjagaan kelestarian wilayah tersebut (Sutami,1997).
Ilmu wilayah adalah suatu ilmu yang mempelajari wilayah terutama sebagai suatu sistem, khususnya yang menyangkut hubungan interaksi dan interpendensi antara subsistem utama, ekosistem dengan sub sistem utama sosial sistem, serta kaitannya dengan wilayah-wilayah lainnya dalam membentuk suatu kesatuan wilayah guna pengembangan termasuk penjagaan kelestarian wilayah tersebut (Sutami,1997).
Lebih lanjut
beberapa ahli mendefinisikan wilayah sangat berbeda satu sama lain karena
kepentingan dan latar belakang yang berbeda pula. Sebagaimana dikutip oleh Hadi
Sabari (2000) dari beberapa pakar berikut ini : misalkan saja T.J.Wofter yang
mengatakan bahwa suatu wilayah adalah daerah tertentu yang di dalamnya tercipta
homogenitas struktur dan sosial sebagai perwujudan kombinasi antara
faktor-faktor lingkungan dan demografi.
Kemudian
R.S. Platt yang berpendapat bahwa :
suatu
wilayah adalah daerah tertentu yang keberadaannya dikenal berdasarkan
homogenitas umum baik atas dasar karakter lahan maupun huniannya. Selanjutnya
P. Vidal dela Blache, bahwa :
wilayah
adalah tempat (domain) tertentu yang di dalamnya terdapat banyak sekali hal
yang berbeda beda, namun secara artifisial bergabung bersama-sama, saling
menyesuaikan untuk membentuk kebersamaan. Berikutnya
A.J. Herbertson, yang mengartikan wilayah
sebagai bagian dari bagian yang tertentu dari permukaan bumi yang mempunyai
sifat khas tertentu sebagai akibat dari adanya hubungan-hubungan khusus antara
komplek lahan, air, udara, tanaman, binatang dan manusia sendiri.
Taylor yang
melihat wilayah dari penampakan karakteristik memberikan batasan wilayah yaitu sebagai suatu
daerah tertentu di permukaan bumi yang dapat dibedakan dengan daerah
tetangganya atas dasar kemampuan karakteristik atau properti yang menyatu.
B.
Pemekaran Daerah di Indonesia
Pemekaran daerah di Indonesia adalah pembentukan wilayah
administratif baru di tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten dari induknya.
Landasan hukum terbaru untuk pemekaran daerah di Indonesia adalah UU No 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selengkapnya, dalam 5 tahun saja,
rakyat Indonesia harus memilih satu presiden dan satu wakil presiden, 33 pasang
gubernur dan wakil gubernur, 398 bupati dan wakil bupati, 93 walikota dan wakil
walikota serta sedikitnya 27 ribu kepala desa. Selama lima tahun itu pula,
rakyat juga mengikuti pemilihan anggota legislatif. Dalam pemilu 2009 – 2014,
rakyat kita telah memilih 132 anggota DPD, 560 anggota DPR, 2.005 anggota DPRD
provinsi dan 15.750 anggota DPRD kabupaten/kota.
C.
Faktor Yang
Mempengaruhi Pemekaran Daerah
Eugene
Bardach di dalam bukunya yang sangat provokatif yaitu The Implementation Game
(Jones,1996) mengatakan bahwa :
Adalah cukup sulit untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya bagus di atas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakkan bagi telinga para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya. Dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk dan cara yang memuaskan semua orang termasuk mereka yang dianggap sebagai klien.
Adalah cukup sulit untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya bagus di atas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakkan bagi telinga para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya. Dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk dan cara yang memuaskan semua orang termasuk mereka yang dianggap sebagai klien.
Disini
Bardach bermaksud melukiskan kesulitan-kesulitan dalam mencapai kesepakatan di
dalam proses kebijakan publik dan menerapkan kebijakan tersebut. Hal ini
terlihat pada pelaksanaan kerja serta pemindahan dari tujuan yang disepakati ke
proses pencapaian tujuan tersebut.
Jones
sendiri menilai bahwa dalam Implementasi Kebijakan, pergeseran atau pemindahan
yang dimaksudkan oleh Bardach tadi merupakan salah satu masa tenggang yang
populer dalam proses Kebijakan Publik, yaitu pergeseran dari aspek politik ke
aspek administrasi. Dengan demikian cukup penting untuk diakui bahwa tidak ada
gambaran yang jelas tentang kebijakan umum di dalam praktek. Pada bagian akhir
dari penjelasannya, Bardach juga mengatakan bahwa proses kesepakatan untuk
menyetujui suatu program tertentu jarang memecahkan masalah yang memuaskan bagi
setiap orang.
Hogwood dan
Gunn (Wahab,2002) secara garis besar menjelaskan bahwa kegagalan suatu
kebijakan (policy failure) dapat dikelompokkan menjadi dua katagori. Pertama,
yaitu tidak terimplementasikannya kebijakan itu (non implementation gap) dan
Implementasi Kebijakan yang tidak berhasil (unsuccesfull implementation). Tidak
terimplementasinya kebijakan berarti bahwa suatu kebijakan tidak berjalan
sesuai dengan harapan, bahkan bisa diakibatkan karena pihak-pihak yang
bertanggung jawab dalam implementasi tidak bersedia bekerjasama, atau
sedemikian luasnya jangkauan yang ingin dicapai oleh kebijakan.
Masih
menurut Hogwood dan Gunn, agar Implementasi Kebijakan dapat dilaksanakan dengan
baik maka harus memperhatikan faktor-faktor berikut ini yaitu:
1.
kondisi eksternal yang dihadapi organisasi dan
instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan dan kendala;
2.
untuk melaksanakan kebijakan harus tersedia waktu dan
sumber-sumber yang memadai
3.
keterpaduan antar sumber daya yaitu manusia, dana dan
fasilitas-fasilitas pendukung lainnya
4.
kebijakan yang di implementasikan harus didasari
hubungan kausalitas yang erat
5.
hubungan kausalitas harus bersifat langsung dan hanya
sedikit mata rantai penghubungnya
6.
hubungan saling ketergantungan harus kecil
7.
pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap
tujuan
8.
tugas-tugas harus terperinci dan ditempatkan pada
urutan yang tepat;
9.
komunikasi dan koordinasi yang sempurna dan
10. pihak-pihak
yang memiliki wewenang dapat menuntut dan memperoleh kepatuhan kewenangan.
Menurut Mazmanian dan Sabatier (Wahab,2002) dalam rangka memformulasikan
penelitian tentang Implementasi Kebijakan hal terpenting adalah merancang dan
mengidentifikasikan variabel-variabel yang dianggap penting, kemudian menetapkan
varibel mana yang paling mempengaruhi dalam menentukan berhasil atau gagalnya
suatu kebijakan. Masih menurut kedua ahli tadi, Sabatier dan Mazmanian
(Wibawa,1994), bahwa variabel-variabel yang dapat
mempengaruhi berhasil atau gagalnya suatu kebijakan adalah sebagai berikut :
1.
mudah atau tidaknya masalah yang akan dikerjakan
2.
kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan
secara tepat proses implementasi kebijakan
3.
pengaruh langsung berbagai variabel politik terhadap
keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan tersebut.
D.
Tinjauan
Pemekaran Daerah
Pemekaran
daerah adalah suatu proses membagi satu daerah administratif (daerah otonom)
yang sudah ada menjadi dua atau lebih daerah otonom baru berdasarkan UU RI
nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hasil amandemen UU RI nomor 22
tahun 1999. Landasan pelaksanaannya didasarkan pada PP nomor 129 tahun 2000.
Untuk
melihat perkembangan suatu daerah pemekaran, diperlukan adanya perbandingan
kinerja daerah tersebut sebelum dan sesudah pemekaran. Dari hal ini akan
terlihat, apakah terjadi perubahan (kemajuan) yang signifikan pada suatu daerah
setelah dimekarkan. Pendekatan semacam ini dapat dianggap kurang tepat bila
tidak ada pembanding yang setara. Di samping itu, perbandingan dapat dilakukan
antara daerah induk dan DOB sehingga dapat dilihat bagaimana dampak yang
terjadi di kedua daerah tersebut setelah pemekaran. Perbandingan juga dilakukan
terhadap perkembangan rata-rata daerah kabupaten/kota dalam satu propinsi yang
sama. Hal ini dimaksudkan untuk melihat secara umum kondisi daerah DOB, daerah
induk. maupun daerah sekitarnya.
Perbandingan
perkembangan pemekaran wilayah dapat dilihat pada beberapa aspek yaitu:
1.
kinerja perekonomian daerah;
2.
kinerja keuangan daerah;
3.
kinerja pelayanan publik; serta
4.
kinerja aparatur pemerintah daerah.
E.
Tujuan
Pemekaran Daerah
Pemekaran
daerah, yaitu pemisahan diri suatu daerah dari induknya dengan tujuan
mendapatkan status yang lebih tinggi dan meningkatkan pembangunan daerah.
Contohnya, pemekaran daerah dapat meningkatkan status kekuasaan, pemekaran
daerah juga dapat memperbesar peluang menjadi PNS, dengan adanya otonomi
daerah, memungkinkan sebagian orang menikmati kas daerah, selain itu juga
pemekaran daerah dapat menggali setiap potensi kebudayaan atau sumber daya alam
dari setiap daerah atau provinsi masing – masing.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Kondisi
Pemekaran Daerah di Indonesia
Seperti yang sudah kita jelaskan pada bab II, Pemekaran
daerah di Indonesia adalah pembentukan wilayah administratif baru di
tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten dari induknya. Landasan hukum
terbaru untuk pemekaran daerah di Indonesia adalah UU No 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
1.
Sejarah pemekaran provinsi
a.
Era perjuangan kemerdekaan
(1945-1949)
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada
tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memiliki 8 provinsi,
yaitu: Sumatra, Borneo
(Kalimantan), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil. Pada masa
pergerakan kemerdekaan (1945-1949), Indonesia mengalami perubahan wilayah
akibat kembalinya Belanda untuk menguasai Indonesia, dan sejumlah
"negara-negara boneka" dibentuk Belanda dalam wilayah negara
Indonesia.
b.
Era Republik Indonesia
Serikat (1949-1950)
Hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag tahun 1949, Belanda mengakui Indonesia dalam
bentuk serikat, dimana terdiri dari 15 negara bagian plus 1 Republik
Indonesia. Beberapa bulan kemudian, sejumlah negara-negara bagian menggabungkan
diri ke negara bagian Republik Indonesia.
c.
Era Demokrasi Terpimpin dan
Orde Lama (1950-1966)
Pada tanggal 17 Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi negara
kesatuan. Berikut adalah perkembangan pemekaran wilayah Indonesia pada kurun
waktu 1950-1966:
1)
Tahun 1950, Provinsi
Sumatra dipecah menjadi Provinsi Sumatera Utara (termasuk di dalamnya Aceh),
Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Sementara, Yogyakarta mendapat status
provinsi "Daerah Istimewa".
2)
Tahun 1956, Provinsi Kalimantan
dipecah menjadi provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan
Timur.
3)
Tahun 1957, Provinsi
Sumatera Tengah dipecah menjadi Provinsi Jambi, Riau, dan Sumatera Barat. Sementara
Jakarta mendapat status provinsi "Daerah Khusus Ibukota". Pada tahun
yang sama pula, Aceh kembali dibentuk provinsi terpisah dari Provinsi Sumatera
Utara (pada tahun 1959 Provinsi Aceh mendapat status provinsi "Daerah
Istimewa").
4)
Tahun 1959, Provinsi
Sunda Kecil dipecah menjadi Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa
Tenggara Timur. Pada tahun yang sama, dibentuk provinsi Kalimantan Tengah (dari
Kalimantan Selatan).
7)
Tahun 1964, dibentuk
Provinsi Lampung (pemekaran dari Sumatera Selatan). Pada tahun yang sama,
dibentuk pula Provinsi Sulawesi Tengah (pemekaran dari Sulawesi Utara) dan
Provinsi Sulawesi Tenggara (pemekaran dari Sulawesi Selatan).
d.
Era Orde Baru (1966-1998)
3)
Pada Tahun 1969-1975, Indonesia memiliki 26 provinsi,
dimana 2 diantaranya berstatus Daerah
Istimewa (Aceh dan Yogyakarta), dan 1 berstatus Daerah Khusus Ibukota (Jakarta).
e.
Era 1999-sekarang
Pada tahun 1999, Timor Timur memisahkan diri dari
Indonesia dan berada di bawah PBB hingga merdeka penuh pada
tahun 2002, dan Indonesia kembali memiliki 26 provinsi. Sementara itu, pada era
reformasi terdapat tuntutan pemekaran sejumlah provinsi di Indonesia. Pemekaran
provinsi di Indonesia sejak tahun 1999 adalah sebagai berikut:
1)
Maluku Utara dengan
ibukota Sofifi-Ternate, dimekarkan
dari Provinsi Maluku, menjadi
provinsi Indonesia ke-27 pada tanggal 4 Oktober 1999
2)
Banten dengan
ibukota Serang, dimekarkan dari Provinsi Jawa Barat, menjadi
provinsi Indonesia ke-28 pada tanggal 17 Oktober 2000
3)
Kepulauan Bangka Belitung dengan ibukota Pangkal Pinang, menjadi
provinsi Indonesia ke-29 pada tanggal 4 Desember 2000
4)
Gorontalo dengan
ibukota Kota Gorontalo, dimekarkan dari Provinsi Sulawesi Utara, menjadi
provinsi Indonesia ke-30 pada tanggal 22 Desember 2000
5)
Irian Jaya Barat dengan
ibukota Manokwari, dimekarkan dari Provinsi Papua, menjadi provinsi Indonesia ke-31
pada tanggal 21 November 2001. Kini Irian Jaya Barat berganti nama menjadi
Papua Barat.
6)
Pada tanggal 11 November 2001 pula, Provinsi Papua
dimekarkan pula provinsi baru Irian Jaya Tengah. Namun
pemekaran ini akhirnya dibatalkan karena mendapat banyak tentangan.
7)
Kepulauan Riau dengan
ibukota Tanjung Pinang, dimekarkan dari Provinsi Riau, menjadi provinsi Indonesia ke-32
pada tanggal 25 Oktober 2002
8)
Sulawesi Barat dengan
ibukota Mamuju, dimekarkan dari Provinsi Sulawesi Selatan, menjadi
provinsi Indonesia ke-33 pada tanggal 5 Oktober 2004.
f.
Pemekaran Kabupaten dan kota
Pemekaran wilayah atau pembentukan
daerah otonomi baru semakin marak sejak disahkannya UU No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang
kemudian direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004. Hingga Desember 2008 telah
terbentuk 215 daerah otonom baru yang terdiri dari tujuh provinsi, 173
kabupaten, dan 35 kota. Dengan demikian total jumlahnya mencapai 524 daerah
otonom yang terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota.
B.
Faktor-faktor
Yang Mempengaruhi Pemekaran Daerah di Indonesia
1.
Kinerja Ekonomi Daerah
Fokus kinerja ekonomi digunakan
untuk mengukur, apakah setelah pemekaran terjadi perkembangan dalam kondisi
perekonomian daerah atau tidak. Indikator yang akan digunakan sebagai ukuran
kinerja ekonomi daerah adalah:
a. Pertumbuhan PDRB Non-migas (ECGI)
Indikator ini mengukur gerak perekonomian daerah yang
mampu menciptakan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan
ekonomi dihitung dengan menggunakan PDRB harga konstan 2000.
b. PDRB per Kapita (WELFI)
Indikator ini mencerminkan tingkat kesejahteraan
masyarakat di daerah yang bersangkutan.
c. Rasio PDRB Kabupaten Terhadap PDRB Propinsi
(ESERI)
Indikator ini melihat seberapa besar tingkat
perkembangan ekonomi di satu daerah dibandingkan dengan daerah lain dalam satu
wilayah propinsi. Besarnya tingkat perkembangan dikorelasikan dengan perbaikan
pada kinerja ekonomi.
d. Angka Kemiskinan (POVEI)
Pembangunan ekonomi seyogyanya mengurangi tingkat
kemiskinan yang diukur menggunakan head-count index, yaitu
persentase jumlah orang miskin terhadap total penduduk. Untuk mengetahui secara
umum perkembangan ekonomi daerah maka dibuat Indeks Kinerja Ekonomi
Daerah (IKE) yang pada prinsipnya adalah rata-rata dari keempat
indikator di atas.
e. Kinerja keuangan pemerintah daerah
Keuangan pemerintah daerah tidak saja mencerminkan
arah dan pencapaian kebijakan fiskal dalam mendorong pembangunan di daerah
secara umum, tetapi juga menggambarkan sejauh mana tugas dan kewajiban yang
diembankan pada pemerintah daerah (kabupaten) dalam konteks desentralisasi
fiskal itu dilaksanakan. Oleh karena itu, evaluasi kinerja keuangan pemerintah
daerah dalam konteks pemekaran daerah ini menggunakan indikator-indikator
kinerja keuangan yang tidak saja merefleksikan kinerja keuangan dari sisi
keuangan pemerintah daerah secara mikro tetapi juga secara makro, sehingga
diperoleh indikator-indikator yang terukur, berimbang dan komprehensif.
Indikator-indikator yang dimaksud adalah :
1) Ketergantungan Fiskal (FIDI)
Indikator ini dirumuskan sebagai persentase dari Dana
Alokasi Umum (yang sudah dikurangi Belanja Pegawai) dalam Total Pendapatan
anggaran daerah.
2) Kapasitas Penciptaan Pendapatan (FGII)
Proporsi PAD tidak dinyatakan dalam total nilai APBD,
namun dinyatakan sebagai persentase dari PDRB kabupaten yang bersangkutan. Hal
ini diperlukan untuk menunjukkan kinerja pemerintah daerah dalam meningkatkan
pendapatan asli daerah berdasarkan kapasitas penciptaan pendapatan (income
generation) masing-masing daerah.
3) Proporsi Belanja Modal (FCAPEXI)
Indikator ini menunjukkan arah pengelolaan belanja
pemerintah pada manfaat jangka panjang, sehingga memberikan multiplier yang
lebih besar terhadap perekonomian. Indikator ini dirumuskan sebagai persentase
dari Belanja Modal dalam Total Belanja pada anggaran daerah.
4) Kontribusi Sektor Pemerintah (FCEI)
Indikator ini menunjukkan kontribusi pemerintah dalam menggerakkan
perekonomian. Nilainya dinyatakan sebagai persentase Total Belanja Pemerintah
dalam PDRB kabupaten yang bersangkutan. Untuk mengetahui secara komprehensif
kinerja keuangan pemerintah ini, maka dibuat Indeks.
2.
Kinerja Pelayanan Publik
Evaluasi kinerja
pelayanan publik akan difokuskan kepada pelayanan bidang pendidikan, kesehatan
dan infrastruktur. Namun harus diingat bahwa dalam waktu yang relatif singkat
(5 tahun setelah pemekaran) bisa jadi belum terlihat perubahan yang berarti
dalam capaian (outcome) kinerja pelayanan publik ini.
3.
Kinerja Aparatur Pemerintah
Daerah
Aparatur
pemerintah menjadi hal pokok yang dievaluasi, untuk mengetahui seberapa jauh
ketersediaan aparatur dapat memenuhi tuntutan pelayanan kepada masyarakat.
Semakin banyak jumlah aparatur yang berhubungan langsung dengan pelayanan
publik, semakin baik pula ketersediaan pelayanan yang diberikan oleh
pemerintah.
C.
Dampak
Pemekaran Daerah Terhadap Masyarakat di Indonesia
Beberapa
hasil evaluasi terhadap pemekaran daerah menunjukkan bahwa kebanyakan
daerah-daerah pemekaran secara umum memang tidak berada dalam kondisi awal yang
lebih baik dibandingkan daerah induk atau daerah kontrol. Namun setelah lima
tahun dimekarkan, ternyata kondisi daerah otonom baru (DOB) juga secara umum
masih tetap berada di bawah kondisi daerah induk dan daerah kontrol.
Pertumbuhan
ekonomi daerah otonom baru (DOB) lebih fluktuatif dibandingkan dengan daerah
induk yang relatif stabil dan terus meningkat. Memang pertumbuhan ekonomi
daerah pemekaran (gabungan DOB dan daerah induk) menjadi lebih tinggi dari
daerah-daerah kabupaten lainnya, namun masih lebih rendah dari daerah kontrol.
Hal ini berarti, walaupun daerah pemekaran telah melakukan upaya memperbaiki
perekonomian, di masa transisi membutuhkan proses, belum semua potensi ekonomi
dapat digerakkan.
Sebagai leading
sector di daerah DOB, sektor pertanian sangat rentan terhadap gejolak
harga, baik harga komoditi maupun hal-hal lain yang secara teknis mempengaruhi
nilai tambah sektor pertanian. Oleh karena itu, kemajuan perekonomian DOB
sangat tergantung pada usaha pemerintah dan masyarakat dalam menggerakkan
sektor tersebut. Porsi perekonomian daerah DOB yang lebih kecil dibandingkan
daerah lain dalam perekonomian satu wilayah (propinsi) mengindikasikan, bahwa secara
relatif daerah DOB belum memiliki peran dalam pengembangan perekonomian
regional.
Beberapa dampak sebagai akibat dari pemekaran daerah antara lain :
1.
Penduduk miskin lebih
terkonsentrasi pada daerah DOB
Meskipun
terjadi pengurangan kemiskinan di seluruh daerah, terlihat bahwa pemekaran
mendorong pelepasan penduduk miskin dari daerah induk ke DOB. Data menunjukkan
bahwa penduduk miskin justru jadi terkonsentrasi di DOB. Dalam konteks yang
lebih luas, peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah DOB belum dapat
mengejar ketertinggalannya dari daerah induk, meski kesejahteraan DOB telah
relatif sama dengan daerah-daerah kabupaten lainnya. Lebih dari itu, indikator
pertumbuhan ekonomi telah menunjukkan bahwa daerah pemekaan (daerah baru dan
daerah induk) memiliki pertumbuhan yang lebih baik dari rata-rata daerah secara
keseluruhan dan daerah kontrol.
Dari sisi
ekonomi, penyebab ketertinggalan daerah DOB dari daerah induk maupun daerah
lainnya adalah keterbatasan sumber daya alam, juga keterbatasan sumber daya
manusia (penduduk miskin cukup banyak), dan belum maksimalnya dukungan
pemerintah dalam menggerakkan perekonomian melalui investasi publik.
Masalah-masalah yang dihadapi pada aspek ekonomi cukup beragam dan belum
kondusif dalam menggerakkan investasi, pola belanja aparatur, dan pembangunan
yang belum sepenuhnya mendukung perekonomian lokal karena masalah tempat
tinggal aparatur, pemilihan ibukota kabupaten yang belum dapat menciptakan
pusat perekonomian di DOB, keterbatasan berbagai infrastruktur penunjang
ekonomi maupun penunjang pusat fasilitas pemerintahan.
2.
Kinerja keuangan daerah
otonom baru (DOB)
Secara umum
kinerja keuangan daerah otonom baru (DOB) lebih rendah dibandingkan daerah
induk. Selama lima tahun kinerja keuangan DOB cenderung konstan, sementara
kinerja keuangan daerah induk cenderung meningkat. DOB memiliki ketergantungan
fiskal yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah induk, dengan kesenjangan
yang semakin melebar. Pemekaran juga mendorong ketergantungan yang lebih besar
di daerah pemekaran dibandingkan dengan daerah kontrol maupun kabupaten lain
pada umumnya.
Optimalisasi
sumber-sumber PAD di daerah DOB relatif lebih rendah dibandingkan daerah induk.
Sementara itu, jika dibandingkan dengan daerah kontrol maupun rata-rata daerah,
optimalisasi PAD di daerah pemekaran relatif lebih rendah walaupun perbedaannya
cukup rendah. Dapat dikatakan bahwa sumbersumber ekonomi yang juga menjadi
sumber-sumber PAD di daerah kontrol atau kabupaten lainnya pada umumnya sudah
dalam kondisi mantap (steady state).
Dalam
periode 2001-2005, kinerja keuangan pemerintah DOB mengalami peningkatan, baik
dari sisi penurunan dependensi fiskal maupun dari sisi kontribusi ekonomi.
Hanya saja peningkatan kinerja tersebut belum dapat dikatakan optimal karena
masih tergolong dalam dependensi fiskal yang tinggi dengan kontribusi ekonomi
yang relatif rendah. Hal ini terjadi dalam kondisi investasi pemerintah (capital
expenditure) DOB yang relatif lebih besar dibandingkan daerah lainnya.
Tentunya ini terkait dengan kenyataan bahwa DOB masih berada dalam fase
transisi, baik secara kelembagaan, aparatur maupun infrastruktur pemerintahan.
3.
Kinerja pelayanan public di
DOB
Secara umum
kinerja pelayanan publik di DOB masih di bawah daerah induk, walaupun
kesenjangannya relatif kecil. Kinerja pelayanan publik di DOB plus daerah induk
secara umum masih berada di bawah kinerja pelayanan publik di daerah kontrol
maupun rata-rata kabupaten. Selama lima tahun terakhir, di semua kategori
daerah terlihat kinerja pelayanan publik yang cenderung menurun. Masalah yang
dihadapi dalam pelayanan publik ialah :
a.
tidak efektifnya penggunaan dana, terkait dengan
kebutuhan dana yang tidak seimbang dengan dengan luas wilayah dan jumlah
penduduk yang relatif sama,
b.
ketersediaan tenaga pelayanan pada masyarakat karena
perkembangan ekonomi dan fasilitas yang terbatas, dan
c.
masih terbatasnya pemanfaatan layanan publik publik
yang diberikan.
4.
Kinerja aparatur di daerah
DOB
Kinerja
aparatur secara keseluruhan menunjukkan fluktuasi di DOB dan daerah induk, meskipun
dalam dua tahun terakhir posisi daerah induk masih lebih baik daripada daerah
DOB. Jumlah aparatur cenderung meningkat selama lima tahun pemekaran. Kualitas
aparatur di DOB masih sangat rendah, meskipun data menunjukkan adanya
peningkatan persentase aparat dengan pendidikan minimal sarjana. Daerah DOB
belum menunjukkan kinerja sesuai dengan yang diharapkan, karena pada masa
transisi tidak ada desain penempatan aparatur yang benar-benar baik. Di samping
itu, pembatasan jumlah aparatur yang formasinya ditentukan oleh pusat juga ikut
menentukan ketersediaan aparatur.
Masalah-masalah
yang ditemui pada pengelolaan aparatur di antaranya: adanya ketidaksesuaian
antara aparatur yang dibutuhkan dengan ketersediaan aparatur yang ada, kualitas
aparatur yang rendah, aparatur daerah bekerja dalam kondisi underemployment,
yakni bekerja di bawah standar waktu yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Pada
dasarnya, pemekaran daerah di Indonesia di bentuk dengan tujuan meningkatkan
pelayanan untuk masyrakat. Dengan adanya pemekaran daerah di harapakan setiap
kebutuhan masyarakat yang harus di penuhi oleh pemerintah dapat di identifikasi
dan terkoordinir dengan baik sesuai dengan potensi masing-masing. Namun jika
dilihat dari konsepnya, peran pemerintah daerah adalah memberikan pelayanan
masyarakat, karena dia merupakan unit yang terdekat dengan masyarakat kesalahan
bukan terletak dari kebijakan yang ada, namun lebih kepada kinerja para
aparatur yang tidak melaksnakan tugasnya sesuai dengan ketentuan.
Melihat dari
contoh kasus diatas, Fenomena tersebut telah menimbulkan sikap pro dan kontra
di berbagai kalangan politisi, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, dan di
antara para pakar. Mereka memperdebatkan manfaat ataupun kerugian yang timbul
dari banyaknya wilayah yang dimekarkan. Berbagai pandangan dan opini
disampaikan untuk mendukung sikap masing-masing pihak. Ada yang menyatakan
bahwa pemekaran telah membuka peluang terjadinya bureaucratic and
political rent-seeking, yakni kesempatan untuk memperoleh keuntungan dana,
baik dari pemerintah pusat maupun dari penerimaan daerah sendiri. Hal ini
menyebabkan terjadinya suatu perekonomian daerah berbiaya tinggi. Lebih jauh
lagi timbul pula tuduhan bahwa pemekaran wilayah merupakan bisnis kelompok elit
di daerah yang sekedar menginginkan jabatan dan posisi
Bila melihat
sejarah Sumatera Utara, dari zaman Pak Harto sampai sekarang, mayoritas
gubernurnya bukan Batak yang beragama Kristen. Kebanyakan Melayu atau Batak
muslim. Nah, orang-orang Batak Kristen merasa disingkirkan. Dalam konteks
pembangunan wilayah, kita lihat di Sumatera Utara yang berkembang hanya daerah
pantai timur. Wilayah pantai barat tertinggal.
Pemerintah
kadang berpikir, kalau mereka tidak setuju, nanti DPR akan membalas. Karena itu
pemerintah tidak mau repot, tidak mau menghalangi DPR. Makanya pengusul
pemekaran daerah mati-matian melobi DPR. Bila lewat pemerintah, jalannya cukup
panjang. Ada kemungkinan tidak lolos di tingkat Departemen Dalam Negeri atau
Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. Tapi, kalau lewat DPR, pasti lolos karena
langsung masuk RUU, dan pemerintah dalam posisi tidak gampang untuk mengatakan
tidak.
Beberapa
dampak dari pemekaran wilayah berdasrkan contoh kasus di atas adalah :
1.
Hasil pemekaran justru korupsi makin berbiak
Korupsi itu tanda kualitas pelayanan
publik buruk. Data pertumbuhan ekonomi daerah hasil pemekaran dengan data di
kementerian daerah tertinggal menunjukkan cukup banyak daerah baru langsung
masuk kategori daerah tertinggal. Mungkin kita ingat kelaparan di Yahukimo,
Papua. Yahukimo adalah hasil pemekaran daerah. Jadi, ketika pemekaran
dilakukan, malah muncul kelaparan. Ini berarti layanan publiknya tidak jalan.
2.
Kinerja aparatur yang tidak
baik
Mereka belum siap, dan anggaran
terbatas. Dana alokasi umum kan dibagikan ke semua kabupaten? Ketika ada
pemekaran, dana itu diambilkan dari daerah induk, berkurang masuk ke daerah
pemekaran. Karena banyak daerah baru, uang yang diterima per daerah makin
kecil. Padahal, daerah punya ongkos tetap yang tidak bisa diapa-apakan.
Misalnya, gaji pegawai yang terus bertambah, membangun sarana dan sistem
pemerintahan. Uang yang tersisa untuk layan-an publik pun makin kecil. Wajar
kalau kualitas layanan menurun karena uang operasional tak banyak lagi.
Mungkin kedua hal tersebut yang
membuat mencuatnya permasalahan pro dan kontranya masalah pemekaran daerah
D.
Pemekaran
Daerah di Indonesia Menjadi Solusi Pada Ketertinggalan
Laksana pedang bermata dua. Pemekaran daerah sejatinya ditujukan
dalam rangka menyelesaikan ketertinggalan, namun di pihak lain seringkali
dituding menjadi penyebab bertambahnya jumlah daerah tertinggal. Malah ada
yang menilai pemekaran daerah sebagai penyebab ketertinggalan itu sendiri.
Kalau dinilai sebagai penyebab ketertinggalan barangkali tidak tepat. Tapi
kalau dikatakan pemekaran daerah dapat menyebabkan bertambahnya jumlah
kabupaten tertinggal, itu ada benarnya. Lihat misalnya, satu
daerah tertinggal dimekarkan menjadi tiga daerah otonom, maka secara
administratif, jumlah daerah tertinggal menjadi tiga, yaitu satu daerah induk
yang dari awalnya memang sudah tertinggal dan tambahan dua lagi dari daerah
otonom baru.
Namun demikian, dimekarkan ataupun tidak, dua wilayah yang menjadi daerah
otonom baru tersebut tetap saja tertinggal. Hanya yang pasti, dengan pemekaran
ini, kedua wilayah tersebut mempunyai peluang untuk lebih diperhatikan dan
keluar dari ketertinggalan.
Bagaimana tidak, dengan menjadi daerah otonom maka pelayanan masyarakat
menjadi lebih dekat dan memiliki anggaran yang dikelola sendiri yang dapat
digunakan untuk membangun wilayah tersebut. Sewaktu bergabung dengan daerah
induk, boleh jadi alokasi anggaran ke wilayah tersebut sangat kecil.
Penghentian kebijakan pemekaran daerah oleh pemerintah sementara ini
bukanlah masalah daerah. Tapi masalah pusat, karena pusat tidak memiliki
cukup dana. Jumlah daerah merupakan angka pembagi dalam formula penentuan
Dana Alokasi Umum (DAU). Yang dirugikan sebetulnya daerah induk, karena
alokasi APBN untuk daerah menjadi terbagi kepada daerah otonom baru. Namun
biasanya, jumlah DAU yang diterima daerah induk setelah pemekaran minimal sama
dengan sebelum terjadinya pemekaran, maka kebutuhan dana akibat pemekaran ini
menjadi beban tambahan bagi pusat.
Kendati pemekaran daerah membuka peluang untuk menjadi sarana keluar dari
ketertinggalan, namun dalam faktanya sekarang masih sulit diwujudkan karena
berbagai persoalan yang menyelimuti daerah otonom baru tersebut.
PP 129 Tahun 2000 menyebutkan bahwa pembentukan, pemekaran, penghapusan dan
penggabungan Daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
melalui: peningkatan pelayanan kepada masyarakat, percepatan pertumbuhan
kehidupan demokrasi, percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah,
percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban, serta
peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
Terjadinya berbagai konflik di masa transisi pasca pemekaran telah
menjauhkan atau paling tidak memperlambat tujuan pemekaran daerah. Di
samping itu, dari hasil studi yang dilakukan penulis bersama Tim dari
Direktorat Otonomi Daerah BAPPENAS tahun 2004, ditemukan bahwa belum
meningkatnya pelayanan kepada masyarakat di beberapa daerah otonom baru
disamping karena persoalan konflik tadi diantaranya diakibatkan juga oleh
persoalan kelembagaan, infrastruktur, dan Sumber Daya Manusia.
Dalam aspek kelembagaan, ditemui bahwa beberapa daerah otonom baru saat
membentuk unit-unit organisasi pemerintah daerah tidak sepenuhnya
mempertimbangkan kondisi daerah dan kebutuhan masyarakat. Pembentukan daerah
otonom baru sepertinya menjadi sarana bagi-bagi jabatan. Terlihat juga adanya
kelambatan pembentukan instansi vertikal, serta kurangnya kesiapan institusi
legislatif sebagai partner pemerintah daerah.
Untuk infrastruktur, sebagian besar daerah otonom baru belum didukung oleh
prasarana dan sarana pemerintahan yang memadai. Banyak kantor pemerintahan
menempati gedung-gedung sangat sederhana yang jauh dari layak. Ditemui di
beberapa daerah, aula sederhana disekat-sekat papan triplek untuk ditempati
beberapa dinas.
Dalam hal Sumber Daya Manusia secara kuantitatif relatif tidak ada masalah,
walaupun masih juga ditemui ada Kantor Bappeda yang hanya diisi oleh 2 (dua)
orang, yaitu 1 (satu) orang Kepala Bappeda dan 1 (satu) orang
staf. Secara kualitas yang menonjol adalah penempatan
pegawai yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan, misalnya
ditemui ada Kepala Dinas Perhubungan berlatar belakang Sarjana Sastra.
Hal lain yang juga penting adalah persoalan leadership dan
kejuangan dari Pimpinan Daerah beserta staf untuk berani hidup “menderita” di
daerah baru yang sangat minim fasilitas. Hal ini penting untuk digaris
bawahi, karena sampai saat ini banyak Kepala Daerah dan pejabat lainnya dari
Daerah Otonom Baru masih lebih banyak tinggal dan berkantor di ibu kota
daerah induk. Kalau begini, kapan melayani masyarakatnya ?
Beberapa permasalahan yang menyelimuti daerah otonom baru ini tentunya
menjadi kendala tersendiri dalam upaya pengentasan daerah tertinggal.
Beberapa pihak terkait, khususnya Kementerian Negara Pembangunan Daerah
Tertinggal (KPDT), sudah seharusnya mempunyai perhatian lebih terhadap
permasalahan daerah otonom.
Pemerintah
pusat memiliki kewenangan untuk menindak dan membubarkan daerah otonom yang
tidak memiliki kinerja baik. Tindakan tegas itu diperlukan bagi daerah otonom
yang tidak bisa mewujudkan peningkatan kualitas layanan publik, kesejahteraan
masyarakat, dan demokrasi lokal. Banyaknya
pembentukan daerah otonom baru tidak terlepas dari lemahnya kendali pemerintah
pusat dalam menjalankan desentralisasi. Kondisi itu dimanfaatkan sebagian aktor
politik lokal dan nasional untuk berkontestasi mewujudkan kepentingan politik
mereka, termasuk salah satu caranya melalui pemekaran daerah.
Maraknya
pemekaran daerah juga didorong motif untuk meningkatkan efektivitas dan
efisiensi administrasi pemerintahan akibat wilayah yang luas, sebaran penduduk
yang tak merata, serta keinginan untuk memanfaatkan bantuan fiskal dari
pemerintah pusat. Hal itu sering kali disertai keinginan untuk mewujudkan
homogenitas etnis, agama, ataupun identitas primordial lainnya dalam suatu
daerah.
Selain itu,
pembentukan setiap tingkatan daerah otonom baru umumnya hanya didasarkan atas
syarat minimum pembentukan daerah otonom baru, yaitu lima kabupaten/kota untuk
pembentukan provinsi, lima kecamatan untuk pembentukan satu kabupaten, dan
empat kecamatan untuk pembentukan kota.
Pembentukan
daerah otonom baru perlu disesuaikan dengan karakter geografisnya, yaitu negara
kepulauan tropis yang memiliki keberagaman morfologi wilayah, sebaran penduduk
yang tak merata, serta keragaman kondisi sosial budaya, bahasa, hingga agama.
Penggunaan perspektif geografis dapat mengindari konflik tata ruang yang muncul
pascapemekaran yang banyak terjadi saat ini, baik perebutan wilayah, sengketa
perbatasan, maupun pengelolaan fungsional suatu ekosistem tertentu antardaerah.
Sejatinya,
proses pemekaran daerah tak dapat dilarang karena kebutuhan untuk memekarkan
daerah hingga kini tetap ada akibat luasnya wilayah Indonesia ataupun
pertumbuhan wilayah. Hal yang dibutuhkan adalah penataan kembali proses
pemekaran daerah. Mekanisme
pembentukan daerah otonom baru harus dievaluasi agar proses yang membutuhkan
biaya dan tenaga besar itu tidak melenceng dari tujuan utamanya guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah tanpa membebani keuangan negara. Agar proses
penataan ulang pemekaran daerah itu berlangsung optimal, proses pemekaran
daerah harus dihentikan sementara secara total atau dilakukan moratorium.
Selama masa itu, proses pemekaran daerah otonom ditinjau ulang, membuat tim
penilai yang independen hingga pemberian sanksi tegas bagi daerah otonom yang
dinilai gagal.
Penilaian
layak tidaknya sebuah calon daerah otonom baru selama ini dilakukan Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). Namun, oknum di lembaga itu justru
ditengarai menjadi konsultan pemekaran daerah sehingga bermunculan daerah
otonom baru yang sebenarnya tak layak. Karena itu, restrukturisasi DPOD
diperlukan dengan mengisinya dari kalangan profesional yang independen dan
memiliki kemampuan luas tentang otonomi daerah. Lembaga baru inilah yang
selanjutnya akan merekomendasikan kepada DPR dan Presiden tentang layak
tidaknya sebuah calon daerah baru disahkan. Proses ini juga untuk menghindari
dijadikannya isu pemekaran daerah sebagai alat politik untuk bagi-bagi
kekuasaan di daerah.
Sanksi juga
perlu diterapkan. Jika pemekaran daerah tidak dilarang, penggabungan dan
penghapusan sebuah daerah otonom juga tidak perlu ditabukan. Namun,
penggabungan dan penghapusan daerah otonom yang tidak bisa melaksanakan
kewenangan otonominya itu selama ini sulit dilaksanakan.
Untuk
menjamin agar proses pemekaran daerah tidak hanya menghasilkan daerah otonom
baru yang buruk, calon daerah otonom baru saat disahkan sebaiknya tidak
langsung diberi kewenangan sebagai daerah otonom, tetapi menjadi daerah
administratif dahulu. Proses transisi untuk memantau perkembangan daerah ini
perlu diberlakukan selama minimal lima tahun sejak pembentukannya.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Banyak
terjadinya pro dan kontra tentang pemekaran daerah
setelah masyrakat melihat dampak positif maupun negative dari pemekaran daerah
itu sendiri. Secara umum untuk melihat adanya perkembangan dari pemekaran
daearah dapat di lihat dari 4 aspek/faktor yaitu :
1. kinerja
perekonomian daerah;
2. kinerja
keuangan daerah;
3. kinerja
pelayanan publik; serta
4. kinerja
aparatur pemerintah daerah
berdasarkan
beberapa hasil evaluasi dari pemekaran daerah, dampak yang timbulkan lebih
banyak negatifnya dari pada positifnya. Hal ini lagi-lagi bukan disebabkan oleh
kebijakannya otonomi mengenai pemekaran daerah yang salah tetapi lebih kepada
kinerja aparatur pemerintah yang terindikasi sesuai dengan aspek-aspek diatas.
Terlebih lagi ditambah dengan beberapa contoh kasus yang menyatakan penolakan
dari pemekaran daerah karena kecewa dengan kinerja aparatur pemerintah yang
ditugaskan disana.
B.
Saran
Beberapa
saran yang mungkin bisa dijadikan masukan pelaksanaan pemekaran daerah
kedepannya :
1.
Benahi birokrasi yang ada, tupoksi setiap organisasi
yang bergerak untuk pemekaran daerah benar-benar berjalan sesuai dengan yang
diharapkan pada Undang Undang No. 22/1999.
2.
Persiapakan semua aparatur pemerintah yang akan
terlibat dalam mewujudkan pemekaran daerah
3.
Evaluasi yang
ketat setiap pelaksanaan pemekaran daerah. Setelah beberapa tahun, lima tahun
misalnya, kalau pemerintah daerah tidak mampu melayani kebutuhan dasar
masyarakat, dia harus bergabung dengan daerah induknya kembali, atau dengan
tetangganya
DAFTAR PUSTAKA
Hasibuan, Albert. 2002. Otonomi Daerah Peluang
dan Tantangan. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Mardiasmo, MBA.dkk. 2002. Otonomi dan
Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta : Andi
Syarifin, Pipin. 2005. Pemerintah daerah di
Indonesia. Bandung : Pustaka Setia
Wasistiono, Sado. 2003. Kapita selekta
manajemen Pemerintah. Bandung : Focus Media
Widodo, Joko. 2001.Good Governance.Surabaya :
Insan Cendikia
Darmawan. 2008. Jurnal penelitian : Studi
Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007. BAPPENAS
www. http// : Pemekaran daerah dan
kesejahteraan masyarakat.htm.
diakses tanggal 20 Maret 2016
http//:republikaonline-pemekaranwilayah.htm.
diakses tanggal 20 Maret 2016
No comments:
Post a Comment