MAKALAH
KERAJAAN
ISLAM DI PULAU SULAWESI
Disusun
untuk memenuhi tugas mata pelajaran PAI
Disusun
oleh :
Kelompok
3
Ketua : Dian Mardiana
Anggota : Nurul Widiani
Siti Sofinah
Nanang Rohana
Ahmad Fajar H
Kemas Jaenal
SMP IT
BABUNNAJAH
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR
Puji dan
Syukur mari kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
Rahmat taufik dan hidayah-Nya sehingga Makalah ini dapat terselesaikan tepat
pada waktunya.
Penyusun menyadari banyak
kekurangan dalam penyusunan makalah ini, itu dikarenakan kemampuan yang
terbatas. Namun berkat bantuan dan dorongan serta bimbingan dari berbagai
pihak, akhirnya pembuatan makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Penyusun berharap dengan
makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penyusun dan bagi para pembaca pada
umumnya serta semoga dapat menjadi bahan pertimbangan dan meningkatkan prestasi
dimasa yang akan datang.
Pandeglang, Januari 2018
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang.
Agama islam pertama masuk ke Indonesia melalui proses
perdagangan, pendidikan, dll. Tokoh penyebar islam adalah walisongo antara
lain; Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, Sunan
Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Gresik (Maulana Malik
Ibrahim)
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman
penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M,
penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat
bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut
disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti.
Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti
Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa
kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam
dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara
lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan
Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas
Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah
sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke
Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut
kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar
menunjukkannya sebagai rahmatan lil’alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan
terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini,
perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat.
Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar
diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut,
migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut.
Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya
menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam
seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain
karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan,
juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap
kali para penjajah – terutama Belanda – menundukkan kerajaan Islam di
Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan
tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka.
Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat
Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun.
Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan
akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara
orang Arab dengan pribumi.
B.
Perumusan Masalah
1.
Bagaimana Sejarah masuknya Awal
Islam Sulawesi
2.
Bagaimana Kerajaan Islam di Sulawesi
3.
Bagaimana Peninggalan sejarah islam di Sulawesi
4.
Bagaimana Kedatangan Orang Melayu di Tanah Bugis Makassar
C. Tujuan
Penulisan
1.
Untuk mengetahui Sejarah masuknya
Awal Islam Sulawesi
2.
Untuk mengetahui Kerajaan Islam di Sulawesi
3.
Untuk Mengetahui Peninggalan sejarah islam di Sulawesi
4.
Untuk mengetahui Bagaimana
Kedatangan Orang Melayu di
Tanah Bugis Makassar
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Awal Islam Sulawesi
Ribuan pulau yang ada di Indonesia, sejak lama telah
menjalin hubungan dari pulau ke pulau. Baik atas motivasi ekonomi maupun
motivasi politik dan kepentingan kerajaan. Hubungan ini pula yang mengantar
dakwah menembus dan merambah Celebes atau Sulawesi. Menurut catatan company
dagang Portugis yang datang pada tahun 1540 saat datang ke Sulawesi, di tanah
ini sudah bisa ditemui pemukiman Muslim di beberapa daerah. Meski belum terlalu
besar, namun jalan dakwah terus berlanjut hingga menyentuh raja-raja di
Kerajaan Goa yang beribu negeri di Makassar.
Raja Goa pertama yang memeluk Islam adalah Sultan Alaidin al
Awwal dan Perdana Menteri atau Wazir besarnya, Karaeng Matopa pada tahun 1603.
Sebelumnya, dakwah Islam telah sampai pula pada ayahanda Sultan Alaidin yang
bernama Tonigallo dari Sultan Ternate yang lebih dulu memeluk Islam. Namun
Tonigallo khawatir jika ia memeluk Islam, ia merasa kerajaannya akan di bawah
pengaruh kerajaan Ternate.
Beberapa ulama Kerajaan Goa di masa Sultan Alaidin begitu
terkenal karena pemahaman dan aktivitas dakwah mereka. Mereka adalah Khatib
Tunggal, Datuk ri Bandang, datuk Patimang dan Datuk ri Tiro. Dapat diketahui
dan dilacak dari nama para ulama di atas, yang bergelar datuk-datuk adalah para
ulama dan mubaligh asal Minangkabau yang menyebarkan Islam ke Makassar.
Pusat-pusat dakwah yang dibangun oleh Kerajaan Goa inilah
yang melanjutkan perjalanan ke wilayah lain sampai ke Kerajaan Bugis, Wajo Sopeng,
Sidenreng, Tanette, Luwu dan Paloppo.
B.
Kerajaan Islam di Sulawesi
Pada abad ke 15 di Sulawesi berdiri beberapa kerajaan, diantaranya
dari suku bangsa Makasar (Gowa dan Tallo) dan Bugis (Luwu, Bone, Soppeng dan
Wajo). 2 kerajaan yang memiliki hubungan baik yaitu kerajaan Gowa dan Tallo.
Ibu kota kerajaannya adalah Gowa yang sekarang menjadi Makasar. Kerajaan ini
pada abad ke 16 sudah menjadi daerah islam. Masuk dan berkembangnya Islam di
Makasar atas juga datuk Ribandang (Ulama adat Minangkabau). Secara resmi
kerajaan Gowa Islam berdiri pada tahun 1605 M.
Raja-raja yang terkenal diantaranya :
1.
Sultan Alaudin (1605-1639 M) raja pertama
Islam di Gowa-Tallo. Kerajaan ini adalah negara maritim yang terkenal dengan
perahu-perahu layarnya dengan jenis Pinisi dan lImbo. Pada masa Sultan Alaudin
berkuasa, Islam mengalami perkembangan pesat yang daerah kekuasaannya hampir
mencakup seluruh daerah Sulawesi. Ia wafat pada tahun 1939 M, setelah menjadi raja selama 34 tahun dan
digantikan putranya yang bernama Muhammad Said.
2.
Muhammad Said (1639-1653 M). Raja ini berkuasa
selama 14 tahun.
3.
Sultan hasanuddin (1653-1669 M). Sultan ini
sebagai pengganti dari Muhammad Saed. Pada masa Sultan hasanuddin berkuasa,
Gowa – Tallo mencapai puncak kejayaannya. Wilayah kekuasaannya sampai ke pulau
Selayar, Butung, Sumbawa dan Lombok. Ia berkuasa selama 16 Tahun.
C. Peninggalan
sejarah islam di Sulawesi
1. Batu
Pelantikan Raja (Batu Pallantikang)
Batu petantikan raja (hatu pallantikang) terletak di sebelah
tenggara kompleks makam Tamalate. Dahulu, setiap penguasa baru Gowa-Tallo di
sumpah di atas batu ini (Wolhof dan Abdurrahim, tt : 67). Batu pallantikang
sesungguhnya merupakan batu alami tanpa pem¬bentukan, terdiri dari satu batu
andesit yang diapit 2 batu kapur. Batu andesit merupakan pusat pemujaan yang
tetap disakralkan masyarakat sampai sekarang. Pe-mujaan penduduk terhadap
ditandai dengan banyaknya sajian di atas batu ini. Mereka meyakini bahwa batu
tersebut adalah batu dewa dari kayangan yang bertuah
2. Mesjid
Katangka
Mesjid Katangka didirikan pada tahun 1605 M. Sejak
berdirinya telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pemugaran itu
berturut-turut dilakukan oleh: [a] Sultan Mahmud (1818); [b] Kadi Ibrahim
(1921); [c] Haji Mansur Daeng Limpo, Kadi Gowa (1948); dan [d] Andi Baso,
Pabbicarabutta GoWa (1962) sangat sulit meng¬identifikasi bagian paling awal
(asli) bangunan mesjid tertua Kerajaan Gowa ini.
Yang masih menarik adalah ukuran tebal tembok kurang lebih
90 cm, hiasan sulur-suluran dan bentuk mimbar yang terbuat dari kayu menyerupai
singgasana dengan sandaran tangan. Hiasan makhuk di samarkan agar tidak tampak
realistik. Pada ruang tengah terdapat empat tiang soko guru yang mendukung
konstruksi bertingkat di atasnya. Mimbar dipasang permanen dan diplaster. Pada
pintu masuk dan mihrab terdapat tulisan Arab dalam babasa Makassar yang
menyebutkan pemugaran yang dilakukan Karaeng Katangka pada tahun 1300 Hijriah.
3. Makam
Syekh Yusuf
Kompleks makam ini terletak pada dataran rendah Lakiung di
sebelah barat Mésjid Katangka. Di dalam kompleks ini terdapat 4 buah cungkup
dan sejumlah makam biasa. Makam Syekh Yusuf terdapat di dalam cungkup terbesar,
berbentuk bujur sangkar Pintu masuk terletak di sisi Selatan. Puncak cungkup
berhias keramik. Makam ini merupakan makam kedua. Ketika wafat di pengasingan,
Kaap, tanggal 23 Mei 1699, beliau di¬makamkan untuk pertama kalinya di Faure,
Afrika Selatan. Raja Gowa meminta kepada pemerintah Belanda agar jasad Syekh
Yusuf dipulangkan dan dimakamkan di Gowa. Lima tahun sesudah wafat (1704) baru
per¬mintaan tersebut dikabulkan. Jasadnya dibawa pulang bersama keluarga dengan
kapal de Spiegel yang berlayar langsung dan Kaap ke Gowa. Pada tanggal 6 April
1705, tulang kerangka Syekh Yusuf dimakamkan dengan upacara adat pemakaman
bangsawan di Lakiung. Di atas makamnya dibangun kubah yang disebut kobbanga
oleh orang Makassar.
Makam Syekh Yusuf mempunyai dua nisan tipe Makassar, terbuat
dari batu alam yang permukaannya sangat mengkilap. Hal ini dapat terjadi karena
para peziarah selalu menyiramnya dengan minyak kelapa atau semacamnya. Sampai
sekarang peziarah masih sangat ramai mengunjungi tokoh ulama (panrita)dan
intelektual (tulnangngasseng) yang banyak berperan dalam perkembangan dan
kejayaan kerajaan Gowa-Tallo abad pertengahan.
Dalam lontarak "Riwayakna Tuanta Salamaka ri Gowa7,
Syekh Yusuf dianggap Nabi Kaidir (Abu Hamid, 1994: 85). la tokoh yang memiliki
keistimewaan, seperti berjalan tanpa berpijak di tanah. Dalam usia belia ia
sudah tamat mempelajari kitab fiqih dan tauhid. Guru tarekat Naqsabandiayah,
Syattariyah, Ba'alaniiyah, dan Qa¬driyah. Wawasan sufistiknya tidak pernah
menyinggung pertentangan antara Hamzah Fanzuri yang me-ngembangkan ajaran Wujudiyah
dan Syekh Nuruddin ar-Raniri.
4. Benteng
Tallo
Benteng Tallo terletak di muara sungai Tallo. Benteng
dibangun dengan menggunakan bahan batu bata, batu padas/batu pasir, dan batu
kurang. Luas benteng diper¬kirakan 2 kilometer Bardasarkan temuan fondasi dan
susunan benteng yang masih tersisa, tebal dinding benteng diperkirakan mencapai
260 cm.
Akibat perjanjian Bongaya (1667) benteng dihancurkan.
Sekarang, sisa-sisa benteng dan bekas aktivitas berserakan. Beberapa bekas
fondasi, sudut benteng (bas¬tion) dan batu merah yang tersisa sering
dimanfaatkan penduduk untuk berbagai keperluan darurat, sehingga tidak tampak
lagi bentuk aslinya. Fondasi itu mengelilingi pemukiman dan makam raja-raja
Tallo.
D. Kedatangan
Orang Melayu di Tanah Bugis Makassar
Bardasarkan sumber-sumber yang telah
ditemukan, dapat dikatakan bahwa
gelombang emigran orang-orang Bugis Makassar ke Semenangjung Melayu melalui tiga priode. ,
Pertama berlangsung pada masa sebelum
kawasan Sulawesi Selatan memasuki
proses Islamisasi. Mereka itu sudah tersebar di berbagai tempat
semenangjung Sumatra, Malaka dan
Kalimantan yang menghubungkan kawasan-kawasan itu dengan rute perdagangan dengan Pusat Melaka, Kelompok
Bugis pada masa itu belum membentuk dirinya dalam suatu kekuatan militer,
mereka umumnya masih hidup dalam kelompok-kelompok kecil sebagai pedagang antar pulau dan sebagai
nelayan. Itulah sebabnya mereka pada umumnya tinggal di kawasan pantai mereka dapat dikatakan kelompok the sea men atau orang laut.
Gelombang kedua terjadi padamasa
proses Islamisasi sedang berlangsung di
Sulawesi Selatan. Masa berlangsung Islamisasi itu berkaitan erat dengan gerakan politik yang si lancarkan
Kerajaan Gowa dan sekutu-sekutunya untuk
menundukkan kwasan-kawasan yang belum
masuk Islam dan sampai Islam diterima
masyarakat setempat konflik politik juga
masih berlangsung.
Gelombang ketiga berlangsung setelah
kerajaan Gowa dan Wajo jatuh di tangan VOC . Masa inilah merupakan
periode yang paling banyak terjadi
perpindahan orang-orang Bugis Makassar kesemenagjung Melayu. Perpindahan yang terjadi dalam gelombang ini berbentuk kelompok yang besar . Mereka tidak
saja terdiri dari masyarakat lapisan
bawah tatapi apat dikatakan terdiri
dari smua lapisan sosial
Dari ketiga gelombang yang disebutkan
di atas, gelombang terkhir inilah yang
paling menarik, masalahnya adalah karena
faktor pemindahan berkaitan erat
dengan akibat langsung peperangan yang terjadi di kawasan Sulawesi Selatan.
Orang-orang Bugis Makassar yang termasuk
ke dalam gelombang yang terakhir
ini dipimpin langsung oleh kelompok
bangsawan. Dengan sisa-sisa kekuatan militer
dan kekayaan yang mereka miliki
kelompok bangsawan ini mengikuti pengikut pengikutnya atau rakyat yang meninggalkan kampung halamannya untuk merantau dengan
tujuan utamanya untuk melanjutkan perjuangan melawan kekuasaan
Belanda.Perjuangan dalam melawan kekuasaan Belanda itu dilakukan dengan berbagai cara, antara lain
dengan melakukan gangguan pada rute perdagangan atau pelayaran Belanda di Selat Makassar, pantai
Ambon dan di Selat Malaka pantau Kaliman
tan yang starategis dan Kepulauan Riau. Tindakan mereka dikaitkan dengan “bajak laut”
Sejak kedatangan orang-orang Melayu di
kerajaan Makassar (Kerajaan Gowa) peranannya tidak hanya dalam perdagangan dan
penyebaran agama, tetapi juga dalam kegiatan sosial budaya. Peranan orang-orang
Melayu di Kerajaan Gowa misalnya, menyebabkan
Raja Gowa ke XII, Mangarai Daeng Pamatte Karaeng Tunijallo membangun sebuah
Mesjid di Kampung Mangallekana untuk kepentingan para saudagar Melayu agar
mereka betah tinggal di Makassar, sekalipun ia sendiri belum beragama Islam.
Adanya perkampungan para saudagara Melayu itu
membuat struktur kekuasaan Kerajaan Gowa
dibantu juga oleh orang-orang Melayu dan
memegang peranan penting di Istana Kerajaan Gowa. Hal itu dapat
ditemukan dalam untaian kalimat sebagai
berikut:
‘Kamilah orang-orang Melayu yang
mengajar anak negeri duduk berhadap hadapan dalam pertemuan adat, mengajar
menggunakan keris panjang yang disebut tatarapang, tata cara berpakaian dan
berbagai hiasan untuk para anak bangsawan
Dalam periode tahun .1546-1565 pada
masa raja Gowa ke 10, seorang keturunan Melayu berdarah campuran Bajo yang amat
terkemuka bernama I Mangambari Kare Mangaweang, yang juga dikenal dengan nama I
Daeng Ri Mangallekana diangkat sebagai sahbandar ke II Kerajaan Gowa, sejak
saat itu secara turun temurun jabatan Sahbandar berturut-turut dipegang oleh
orang Melayu sampai dengan Sahbandar Ince Husein, Sahbandar terakhir th 1669
ketika kerajaan Gowa mengalami kekalahan perang melawan VOC.
Jabatan
penting lainnya ialah juru tulis istana dijabat pula oleh orang-orang Melayu
Incik Amin, juru tulis istana di zaman Sultan Hasanuddin Raja Gowa ke XVI
(1653-1669) adalah juru tulis istana yang terakhir dan amat terkenal di zaman
kebesaran Kerajaan Gowa. Sebuah karya tulisnya yang amat indah berjudul : Syair
Perang Makassar” mengisahkan saat-saat terakhir kerajaan Gowa tahun 1669.
Salah satu sumbangan utama orang-orang
Melayu di Indonesia Timur, khususnya di Sulawesi ialah upayanya dalam
menyebarkan Agama Islam dan penyebaran
dan penyebaran Kebudayaan Melayu di Sulawesi. Pada tahun 1632 Rombongan
Migran Melayu dari Patani tiba di Makassar. Rombongan besar ini dipimpin oleh
seorang bangsawan Melayu dari Patani bernama Datuk Maharajalela Turut serta dengannya kemanakannya suami
istri yang bergelar
Datuk Paduka Raja bersama istrinya yang
bergelar Putri Senapati, Raja Gowa memberinya tempat di sebelah selatan Somba
Opu, Ibu Kota Kerajaan Gowa, karena disana telah berdiri Perkampungan Melayu
asal Patani. Sejak saat itu Salajo diganti menjadi kampung Patani, hingga
sekarang.
No comments:
Post a Comment