MAKALAH
MAHKAMAH
KONSTITUSI (MK)
Disusun
untuk memenuhi tugas mata pelajaran PKN
Disusun
oleh :
Anisah
XII
MIA 3
SMA NEGERI
4 PANDEGLANG
Jl. Raya
Labuan Km 29 Menes Pandeglang
Tahun
Ajaran 2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji dan
Syukur mari kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
Rahmat taufik dan hidayah-Nya sehingga Makalah ini dapat terselesaikan tepat
pada waktunya.
Penyusun menyadari banyak
kekurangan dalam penyusunan makalah ini, itu dikarenakan kemampuan yang
terbatas. Namun berkat bantuan dan dorongan serta bimbingan dari berbagai
pihak, akhirnya pembuatan makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Penyusun berharap dengan
makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penyusun dan bagi para pembaca pada
umumnya serta semoga dapat menjadi bahan pertimbangan dan meningkatkan prestasi
dimasa yang akan datang.
Menes, Juli 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR...................................................................................
i
DAFTAR
ISI.................................................................................................
ii
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang...................................................................................
1
B.
Tujuan.................................................................................................
1
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Pengertian mahkamah konstitusi ....................................................... 2
B.
Sejarah dan Pembentukan Mahkamah Konstitusi.............................. 2
C.
Pokok
pikiran tersebut antaranya adalah............................................
3
D.
Alasan
Pembentukan Mahkamah Konstitusi......................................
4
E.
Kedudukan Mahkamah Konstitusi.................................................... 7
F.
Fungsi dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi............................... 8
G.
Fungsi Mahkamah Konstitusi tercantum dalam UUD 1945 ............. 13
H.
Fungsi Mahkamah Konstitusi menurut Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie........................................................................................
13
I.
Wewenang mahkamah konstitusi menurut UUD 1945, yaitu............ 13
J.
Secara khusus wewenang mahkmah konstitusi diatur
dalam UU mahkamah konstitusi pasal 10, yaitu ............................................................................................................ 14
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan.........................................................................................
15
B.
Saran .................................................................................................. 15
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lembaran awal
sejarah praktik pengujian Undang-undang
(judicial review) bermula di Mahkamah Agung (MA) (Supreme
Court) Amerika Serikat saat dipimpin William Paterson
dalam kasus Danil Lawrence Hylton lawan Pemerintah Amerika Serikat tahun 1796.
Dalam kasus ini, MA menolak permohonan pengujian UU Pajak atas Gerbong Kertera
Api 1794
yang diajukan oleh Hylton dan menyatakan bahwa UU a quo tidak bertentangan
dengan konstitusi atau tindakan kongres dipandang konstitusional. Dalam kasus
ini, MA menguji UU a quo, namun tidak membatalkan UU tersebut. Selanjutnya pada
saat MA di pimpin John Marshall dalam kasus Marbury
lawan Madison tahun 1803.
Kendati saat itu Konstitusi Amerika Serikat tidak mengatur pemberian kewenangan
untuk melakukan judicial review kepada MA, tetapi dengan
menafsirkan sumpah jabatan yang mengharuskan untuk senantiasa menegakkan
konstitusi, John Marshall menganggap MA berwenang untuk
menyatakan suatu Undang-undang bertentangan dengan konstitusi.
B. Tujuan
Tujuan
disusunya makalah ini adalah untuk membahas salah satu dari materi mata
pelajaran PKN, yaitu tentang mahkamah konstitusi, dengan disusunya makalah ini
semoga memberikan manfaat yang besar bagi kita semua.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian mahkamah konstitusi
Pengertian Mahkamah Konstitusi adalah lembaga kenegaraan yang
dibuat untuk mengawal (to guard) konstitusi, agar dilaksanakan dan
dihormati baik dalam penyelenggaraan kekuasaan negara maupun warga negara.
B.
Sejarah
dan Pembentukan Mahkamah Konstitusi
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi
(MK) diawali dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam
amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal
24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan
pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan
pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20. Setelah
disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan
MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara
sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan
Keempat.
DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan
Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan
mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden
pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor
4316).Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui
Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama
kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi
di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.Lembaran perjalanan MK
selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober
2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang
kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.
C.
Pokok pikiran tersebut antaranya
adalah :
a) Penegasan dianutnya cita demokrasi
dan nomokrasi secara sekaligus dan saling melengkapi secara komplementer;
b) Pemisahan kekuasaan dan prinsip
“checks and balances'
c) Pemurnian sistem pemerintah
presidential; dan
d) Penguatan cita persatuan dan
keragaman dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan
pasal III Aturan Peralihan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang memerintahkan dibentuknya Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya 17
Agustus 2003 dan sebelum dibentuk maka kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah
Agung. Tanggal 13 Agustus 2003 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi disahkan kemudian pada tanggal 16 Agustus 2003 para hakim
konstitusi dilantik dan mulai bekerja secara efektif pada tanggal 19 Agustus
2003. Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi (Constitutional
Court) merupakan lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini berarti bahwa Mahkamah Konstitusi
merupakan salah satu lembaga negara yang mempunyai kedudukan setara dengan
lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden,
Mahkamah Agung (MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY).
Ide
pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran
hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Ditinjau dari aspek
waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang membentuk MK sekaligus
merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuk lembaga ini.
D.
Alasan Pembentukan Mahkamah
Konstitusi
Pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan ekses dari
perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern yang muncul pada abad
ke-20 ini. Di negara-negara yang tengah mengalami tahapan perubahan dari
otoritarian menuju demokrasi, ide pembentukan MK menjadi diskursus penting.
Krisis konstitusional biasanya menyertai perubahan menuju rezim demokrasi,
dalam proses perubahan itulah MK dibentuk. Pelanggaran demi pelanggaran
terhadap konstitusi, dalam perspektif demokrasi, selain membuat konstitusi
bernilai semantik, juga mengarah pada pengingkaran terhadap prinsip kedaulatan
rakyat.
Dalam perkembangannya, ide pembentukan MK dilandasi upaya
serius memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan
semangat penegakan konstitusi sebagai “grundnorm” atau “highest
norm”, yang artinya segala peraturan perundang-undangan yang berada
dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah diatur dalam
konstitusi.
Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat
(the sovereignity of the people) kepada negara, melalui konstitusi rakyat
membuat statement kerelaan pemberian sebagian hak-haknya kepada negara. Oleh
karena itu, konstitusi harus dikawal dan dijaga. Sebab, semua bentuk
penyimpangan, baik oleh pemegang kekuasaan maupun aturan hukum di bawah
konstitusi terhadap konstitusi, merupakan wujud nyata pengingkaran terhadap
kedaulatan rakyat.
Ide demikian yang turut melandasi pembentukan MK di
Indonesia. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Ini mengimplikasikan agar
pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui konstitusi harus dikawal dan dijaga.
Harus diakui berbagai masalah terkait dengan konstitusi dan ketatanegaraan
sejak awal Orde Baru telah terjadi. Carut marutnya peraturan perundangan selain
didominasi oleh hegemoni eksekutif, terutama semasa Orde Baru menuntut
keberadaan wasit konstitusi sekaligus pemutus judicial review (menguji
bertentangan-tidaknya suatu undang-undang terhadap konstitusi). Namun, penguasa
waktu itu hanya memberikan hak uji materiil terhadap peraturan perundangan di
bawah undang-undang pada Mahkamah Agung. Identifikasi kenyataan-kenyataan
semacam itu kemudian mendorong Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang menyiapkan
amandemen ketiga UUD 1945 akhirnya menyepakati organ baru bernama MK.
Apabila ditelaah lebih lanjut, pembentukan MK didorong dan
dipengaruhi oleh kondisi faktual yang terjadi pada saat itu. Pertama,
sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara
demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu keputusan
yang dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan UUD yang
berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang berwenang
menguji konstitusionalitas undang-undang. Kedua, pasca Perubahan
Kedua dan Perubahan Ketiga, UUD 1945 telah mengubah relasi kekuasaan dengan
menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) berdasarkan prinsip
checks and balances. Jumlah lembaga negara dan segenap ketentuannya yang
membuat potensi besar terjadinya sengketa antarlembaga negara. Sementara itu,
perubahan paradigma supremasi MPR ke supremasi konstitusi, membuat tidak ada
lagi lembaga tertinggi negara yang berwenang menyelesaikan sengketa
antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga tersendiri untuk
menyelesaikan sengketa tersebut. Ketiga, kasus pemakzulan
(impeachment) Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR pada
2001, mengilhami pemikiran untuk mencari mekanisme hukum yang digunakan dalam
proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden agar tidak semata-mata
didasarkan alasan politis semata. Untuk itu, disepakati perlunya lembaga hukum
yang berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden dan/atau Wakil
Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya.
Setelah melalui pembahasan mendalam, dengan mengkaji lembaga
pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan
masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai
lembaga Mahkamah Konstitusi disahkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Hasil
Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi
nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945.
E.
Kedudukan
Mahkamah Konstitusi
Digantikannya
sistem division of power (pembagian kekuasaan) dengan separation of power
(pemisahan kekuasaan) mengakibatkan perubahan mendasar terhadap format
kelembagaan negara pasca amandemen UUD 1945. Berdasarkan division of power yang
dianut sebelumnya, lembaga negara disusun secara vertikal bertingkat dengan MPR
berada di puncak struktur sebagai lembaga tertinggi negara. Pasal 1 ayat (2)
UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat,
MPR sering dikatakan sebagai rakyat itu sendiri atau penjelmaan rakyat. Di bawah
MPR, kekuasaan dibagi ke sejumlah lembaga negara, yakni presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) yang kedudukannya sederajat dan
masing-masing diberi status sebagai lembaga tinggi negara.
Akibat
utama dari anutan sistem separation of power, lembaga-lembaga negara tidak lagi
terkualifikasi ke dalam lembaga tertinggi dan tinggi negara. Lembaga-lembaga
negara itu memperoleh kekuasaan berdasarkan UUD dan di saat bersamaan dibatasi
juga oleh UUD.
Pasca
amandemen UUD 1945, kedaulatan rakyat tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada
satu lembaga melainkan oleh UUD. Dengan kata lain, kedaulatan sekarang tidak
terpusat pada satu lembaga tetapi disebar kepada lembaga-lembaga negara yang
ada. Artinya sekarang, semua lembaga negara berkedudukan dalam level yang
sejajar atau sederajat.
Dalam
konteks anutan sistem yang demikian, lembaga negara dibedakan berdasarkan
fungsi dan perannya sebagaimana diatur dalam UUD 1945. MK menjadi salah satu
lembaga negara baru yang oleh konstitusi diberikan kedudukan sejajar dengan
lembaga-lembaga lainnya, tanpa mempertimbangkan lagi adanya kualifikasi sebagai
lembaga negara tertinggi atau tinggi. Sehingga, sangat tidak beralasan
mengatakan posisi dan kedudukan MK lebih tinggi dibanding lembaga-lembaga
negara lainnya, itu adalah pendapat yang keliru. Prinsip pemisahan kekuasaan
yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan
yudikatif dengan mengedepankan adanya hubungan checks and balances antara satu
sama lain.
Selanjutnya,
UUD 1945 memberikan otoritas kepada MK untuk menjadi pengawal konstitusi.
Mengawal konstitusi berarti menegakkan konstitusi yang sama artinya dengan
“menegakkan hukum dan keadilan”. Sebab, UUD 1945 adalah hukum dasar yang
melandasi sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini MK memiliki
kedudukan, kewenangan serta kewajiban konstitusional menjaga atau menjamin
terselenggaranya konstitusionalitas hukum.
F. Fungsi dan Kewenangan Mahkamah
Konstitusi
Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi untuk mengawal (to
guard) konstitusi agar dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan
negara maupun warga negara. Mahkamah Konstitusi juga sebagai penafsir akhir
konstitusi. Di berbagai negara Mahkamah Konstitusi juga menjadi pelindung
(protector) konstitusi. Sejak di-inkorporasi-kannya hak-hak asasi manusia dalam
Undang Undang Dasar 1945, bahwa fungsi pelindung konstitusi dalam arti
melindungi hak-hak asasi manusia (fundamental rights) juga benar adanya. Tetapi
dalam penjelasan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
dinyatakan sebagai berikut:
“… salah satu substansi penting
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah
keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani
perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar
dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan
cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga
terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi
terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang menimbulkan
tafsir ganda terhadap konstitusi”.
Lebih jelas Jimly Asshiddiqie menguraikan:
“Dalam konteks ketatanegaraan,
Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi
menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Mahkamah
Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan
dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab.
Di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan
sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mawarnai
keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat”.
Lembaga negara lain dan bahkan orang perorang boleh saja
menafsirkan arti dan makna dari ketentuan yang ada dalam konstitusi. Suatu
konstitusi memang tidak selalu jelas karena rumusannya luas dan kadang-kadang
kabur. Akan tetapi, yang menjadi otoritas akhir untuk memberi tafsir yang
mengikat adalah Mahkamah Konstitusi. Dan tafsiran yang mengikat itu hanya diberikan
dalam putusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan yang diajukan kepadanya.
Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah
sebagai berikut:
1.
Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
2.
Mahkamah
Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai
dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang Undang
Dasar.
Secara khusus, wewenang Mahkamah
Konstitusi tersebut diatur lagi dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 24 Tahun
2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dengan rincian sebagai berikut:
1) Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannnya bersifat final untuk:
·
Menguji
undang-undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
Mengenai
pengujian UU, diatur dalam Bagian Kesembilan UU Nomor 24 Tahun 2003 dari Pasal
50 sampai dengan Pasal 60. Undang-undang adalah produk politik biasanya
merupakan kristalisasi kepentingan-kepentingan politik para pembuatnya. Sebagai
produk politik, isinya mungkin saja mengandung kepentingan yang tidak sejalan
atau melanggar konstitusi. Sesuai prinsip hierarki hukum, tidak boleh isi suatu
peraturan undang-undang yang lebih rendah bertentangan atau tidak mengacu pada
peraturan di atasnya. Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan
atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review.
Jika undang-undang atau bagian di dalamnya itu dinyatakan terbukti tidak
selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu dibatalkan MK. Melalui
kewenangan judicial review, MK menjadi lembaga negara yang mengawal agar tidak
lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi.
·
Memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Sengketa
kewenangan konstitusional lembaga negara adalah perbedaan pendapat yang
disertai persengketaan dan klaim lainnya mengenai kewenangan yang dimiliki oleh
masing-masing lembaga negara tersebut. Hal ini mungkin terjadi mengingat sistem
relasi antara satu lembaga dengan lembaga lainnya menganut prinsip check and
balances, yang berarti sederajat tetapi saling mengendalikan satu sama lain.
Sebagai akibat relasi yang demikian itu, dalam melaksanakan kewenangan
masing-masing timbul kemungkinan terjadinya perselisihan dalam menafsirkan
amanat UUD., MK dalam hal ini, akan menjadi wasit yang adil untuk menyelesaikannya.
Kewenangan mengenai ini telah diatur dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 67 UU
Nomor 24 Tahun 2003.
·
Memutus
pembubaran partai politik;
Kewenangan ini diberikan agar
pembubaran partai politik tidak terjebak pada otoritarianisme dan arogansi,
tidak demokratis, dan berujung pada pengebirian kehidupan perpolitikan yang
sedang dibangun. Mekanisme yang ketat dalam pelaksanaannya diperlukan agar
tidak berlawanan dengan arus kuat demokrasi. Partai politik dapat dibubarkan
oleh MK jika terbukti ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatannya
bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 74 sampai dengan Pasal 79 UU Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah mengatur kewenangan ini.
·
Memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
Perselisihan hasil Pemilu adalah
perselisihan antara KPU dengan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan
suara hasil Pemilu secara nasional. Perselisihan hasil pemilu dapat terjadi
apabila penetapan KPU mempengaruhi 1). Terpilihnya anggota DPD, 2). Penetapan
pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan presiden. dan wakil
presiden serta terpilihnya pasangan presiden dan wakil presiden, dan 3).
Perolehan kursi partai politik peserta pemilu di satu daerah pemilihan. Hal ini
telah ditentukan dalam Bagian Kesepuluh UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi dari Pasal 74 sampai dengan Pasal 79.
Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga
telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Kewenangan ini diatur pada Pasal 80
sampai dengan Pasal 85 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Dalam sistem presidensial, pada dasarnya presiden tidak dapat diberhentikan
sebelum habis masa jabatannya habis, ini dikarenakan presiden dipilih langsung
oleh rakyat. Namun, sesuai prinsip supremacy of law dan equality before law,
presiden dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum
sebagaimana yang ditentukan dalam UUD. Tetapi proses pemberhentian tidak boleh
bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum. Hal ini berarti, sebelum ada
putusan pengadilan yang menyatakan seorang presiden bersalah, presiden tidak
bisa diberhentikan. Pengadilan yang dimaksud dalam hal ini adalah MK.
Dalam hal ini hanya DPR yang dapat
mengajukan ke MK. Namun dalam pengambilan sikap tentang adanya pendapat semacam
ini harus melalui proses pengambilan keputusan di DPR yaitu melalui dukungan
2/3 (dua pertiga) jumlah seluruh anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna
yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) anggota DPR. 3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
·
Pengkhianatan
terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana
diatur dalam undang-undang.
·
Korupsi
dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur
dalam undang-undang.
·
Tindak
pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih.
·
Perbuatan
tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
·
Tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 6 Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
G.
Fungsi
Mahkamah Konstitusi tercantum dalam UUD 1945
Untuk menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan,
hal ini dilakukan dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara
bertanggung jawab sesuai dengan cita-cita demokrasi dan kehendak rakyat.
Keberadaan mahkamah konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya suatu
pemerintahan negara yang stabil dan sebagai koreksi terhadap pengalaman
kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang menimbulkan tafsir ganda terhadap
konstitusi.
H.
Fungsi
Mahkamah Konstitusi
menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie
Yaitu menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan
masyarakat. Tugas mahkamah konstitusi untuk mendorong dan menjamin agar negara
secara konsisten dan bertanggung jawab. Oleh karena sistem konstitusi memiliki
kelemahan, maka perlu peran mahkamah konstitusi sebagai penafsir agar spirit
konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan
bermasyarakat.
I.
Wewenang
mahkamah konstitusi menurut UUD 1945, yaitu :
1)
Wewenang
mahkamah konstitusi untuk mengadilai pada tingakat pertama dan terakhir yang
dalam putusannya bersifat final.
2)
Wewenang
mahkamah konstitusi untuk menguji UU tehadap UUD 1945.
3)
Wewenang
mahkamah konstitusi untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD.
4)
Wewenang
mahkamah konstitusi untuk memutus pembubaran partai politik.
5)
Wewenang
mahkamah konstitusi untuk memutus perselisihan yang terjadi atas hasil dari
proses pemilu yang berlangsung.
6)
Wewenang
mahkamah konstitusi untuk memberi putusan atas pendapat DPR (Dewan Perwakilan
Rakyat) mengenai dugaan pelanggaran Presiden atau Wakil Presiden menurut UUD.
J.
Secara
khusus wewenang mahkmah konstitusi diatur dalam UU mahkamah konstitusi pasal
10, yaitu :
(1)
Wewenang mahkamah konstitusi untuk menguji UU terhadap UUD 1945.
(2) Wewenang mahkamah konstitusi
untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh UUD 1945.
(3) Wewenang mahkamah konstitusi
untuk memutus pembubaran partai politik.
(4) Wewenang mahkamah konstitusi
untuk memutus perselisihan yang terjadi akibat hasil dari pemilihan umum.
(5) Wewenang mahkamah konstitusi
untuk memberi putusan atas pendapat dari DPR mengenai presiden atau wakil
presiden yang diduga melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap
negara, penyuapan, korupsi, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela,
dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden atau wakil presiden sebagaimana
dimaksud dalam UUD 1945.
Memutus pendapat DPR atas impeachment
(tuduhan) yang dilakukan oleh presiden dan atau wakil presiden tetap merupakan
wewenang mahkamah konstitusi dan sifat putusan mahkamah konstitusi secara
yuridis tetap merupakan peradilan pertama dan terakhir serta final karena tidak
ada lembaga lain yang akan melakukan review lagi terhadap putusan yang telah
dijatuhkan mahkamah konstitusi.
Mahkamah konstitusi yang telah
menyatakan seorang presiden atau wakil presiden telah bersalah melakukan
pelanggaran hukum sebagaimana dugaan atas pendapat DPR yang diajukan ke
mahkamah konstitusi, putusan tersebut tetap mengikat kepada setiap lembaga
negara termasuk badan peradilan pidana biasa. Jika putusan mahkamah konstitusi
tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum bagi lembaga-lembaga lain, ada
kemungkinan seorang presiden atau wakil presiden yang telah dinyatakan bersalah
oleh mahkamah konstitusi, ketika diajukan lagi di depan peradilan pidana,
presiden atau wakil presiden dapat dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan
dari segala tuduhan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sejarah
berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide MK (Constitutional
Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001. DPR dan Pemerintah kemudian
membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui
pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh
Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4316). Ada empat kewenangan dan satu kewajiban Mahkamah Konstitusi yang
telah ditentukan dalam UUD 1945 perubahan ketiga Pasal 24C ayat (1) yaitu
menguji (judicial review) undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa
kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutuskan
pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum,
dan memberhentikan presiden dan wakil presiden apabila melanggar hukum.
B. Saran
Negara Indonesia
merupakan negara yang demokrasi, sepatutnya kita sebagai warga negara Indonesia
harus benar-benar menjunjung tinggi nilai demokrasi. Seperti halnya dalam
pemilihan Pemilu presiden dan wakil presiden, harus dilakukan dengan jujur
tanpa adanya niat iming-iming atau suap yang dapat merusak nilai citra negara.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie,
Jimly, Kedudukan Mahkamah Konstitusi, http://www.jimly.com/makalah/namafile/23/KEDUDUKAN_MK.doc
diakses Senin, tanggal 23 Desember 2013.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=1
diakses Minggu, tanggal 22 Desember 2013.
Soehino,
Ilmu Negara, Yogyakarta: tt, 1983.
Strong,
C.F., Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Bandung: Nusa Media, 2011.
Syahuri,
Taufiqurrohman, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Cetakan I,
Jakarta: Kencana, 2011.
No comments:
Post a Comment