Thursday, 21 February 2013

Pendidikan kurikulum dan pendidikan karakter dalam Pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN
Secara historis maupun filosofis pendidikan telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral, dan etik dalam proses pembentukan jati diri bangsa. Pendidikan merupakan variabel yang tidak dapat diabaikan dalam mentransformasi ilmu pengetahuan, keahlian dan nilai-nilai akhlak.
Pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar manjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,cakap,kreatif, inovatif,cerdas, disiplin, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
Semua program pendidikan di berbagai jenjang dan jenis pendidikan dirancang untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut. Rancangan program pendidikan di setiap jenjang dan jenis pendidikan disebut dengan istilah kurikulum. Kurikulum adalah niat dan harapan yang dituangkan dalam bentuk rencana atau program pendidikan untuk dilaksanakan oleh guru di sekolah.Kurikulum merupakan salah satu alat untuk membina dan mengembangkan siswa menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis bertanggung jawab serta berbudi pekerti.
Berangkat dari hal tersebut diatas, secara formal upaya menyiapkan kurikulum yang mengarah kepada pembentukan watak dan budi pekerti generasi muda bangsa memiliki landasan yuridis yang kuat. Kini upaya tersebut mulai dirintis melalui pendidikan karakter bangsa.

BAB II PEMBAHASAN

A.    Program Kurikulum Pendidikan
Kurikulum adalah perangkat mata pelajaran yang diberikan oleh suatu lembaga penyelenggara pendidikan yang berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta pelajaran dalam satu periode jenjang pendidikan. Penyusunan perangkat mata pelajaran ini disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan setiap jenjang pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut.
Lama waktu dalam satu kurikulum biasanya disesuaikan dengan maksud dan tujuan dari sistem pendidikan yang dilaksanakan. Kurikulum ini dimaksudkan untuk dapat mengarahkan pendidikan menuju arah dan tujuan yang dimaksudkan dalam kegiatan pembelajaran secara menyeluruh.
Berbagai kurikulum yang mewarnai dunia pendidikan di Indonesia :
1. Rencana Pelajaran 1947
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer plan. Dalam bahasa Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih popular ketimbang curriculum (bahasa Inggris). Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila.
Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, plus garis-garis besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
-->

2. Rencana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran,” kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Ketika itu, di usia 16 tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau.
Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.
3. Kurikulum 1968
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9.
Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran pokok-pokok saja,” katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.
4. Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas.
Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
5. Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta — sekarang Universitas Negeri Jakarta — periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Penolakan CBSA bermunculan.
6. Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan proses,” kata Mudjito menjelaskan.
Sayang, perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran, lantaran beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.
7. Kurikulum 2004
Bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa.
Meski baru diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum. (sumber: depdiknas.go.id)
8. KTSP 2006
Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota. (TIAR).
B. Ragam Pendidikan Karakter
Ada beberapa penamaan nomenklatur untuk merujuk kepada kajian pembentukan karakter peserta didik, tergantung kepada aspek penekanannya. Di antaranya yang umum dikenal ialah: Pendidikan Moral, Pendidikan Nilai, Pendidikan Relijius, Pendidikan Budi Pekerti, dan Pendidikan Karakter itu sendiri. Masing-masing penamaan kadang-kadang digunakan secara saling bertukaran (inter-exchanging), misal pendidikan karakter juga merupakan pendidikan nilai atau pendidikan relijius itu sendiri (Kirschenbaum, 2000). Sebagai kajian akademik, pendidikan karakter tentu saja perlu memuat syarat-syarat keilmiahan akademik seperti dalam konten (isi), pendekatan dan metode kajian. Di sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat terdapat pusat-pusat kajian pendidikan karakter (Character Education Partnership; International Center for Character Education). Pusat-pusat ini telah mengembangkan model, konten, pendekatan dan instrumen evaluasi pendidikan karakter. Tokoh-tokoh yang sering dikenal dalam pengembangan pendidikan karakter antara lain Howard Kirschenbaum, Thomas Lickona, dan Berkowitz.  Pendidikan karakter berkembang dengan pendekatan kajian multidisipliner: psikologi, filsafat moral/etika, hukum, sastra/humaniora.
Terminologi ”karakter” itu sendiri sedikitnya memuat dua hal: values (nilai-nilai) dan kepribadian. Suatu karakter merupakan cerminan dari nilai apa yang melekat dalam sebuah entitas. ”Karakter yang baik” pada gilirannya adalah suatu penampakan dari nilai yang baik pula yang dimiliki oleh orang atau sesuatu, di luar persoalan apakah ”baik” sebagai sesuatu yang ”asli” ataukah sekadar kamuflase. Dari hal ini, maka kajian pendidikan karakter akan bersentuhan dengan wilayah filsafat moral atau etika yang bersifat universal, seperti kejujuran. Pendidikan karakter sebagai pendidikan nilai menjadikan “upaya eksplisit mengajarkan nilai-nilai, untuk membantu  siswa mengembangkan disposisi-disposisi guna bertindak  dengan cara-cara yang pasti” (Curriculum Corporation, 2003: 33). Persoalan baik dan buruk, kebajikan-kebajikan, dan keutamaan-keutamaan menjadi aspek penting dalam pendidikan karakter semacam ini.
Sebagai aspek kepribadian, karakter merupakan cerminan dari kepribadian secara utuh dari seseorang: mentalitas, sikap dan perilaku. Pendidikan karakter semacam ini lebih tepat sebagai pendidikan budi pekerti. Pembelajaran tentang tata-krama, sopan santun, dan adat-istiadat, menjadikan pendidikan karakter semacam ini lebih menekankan kepada perilaku-perilaku aktual tentang bagaimana seseorang dapat disebut berkepribadian baik atau tidak baik berdasarkan norma-norma yang bersifat kontekstual dan kultural.
Bagaimana pendidikan karakter yang ideal? Dari penjelasan sederhana di atas, pendidikan karakter hendaknya mencakup aspek pembentukan kepribadian yang memuat dimensi nilai-nilai kebajikan universal dan kesadaran kultural di mana norma-norma kehidupan itu tumbuh dan berkembang. Ringkasnya, pendidikan karakter mampu membuat kesadaran transendental individu mampu terejawantah dalam perilaku yang konstruktif berdasarkan konteks kehidupan di mana ia berada: Memiliki kesadaran global, namun mampu bertindak sesuai konteks lokal.
C. Perpektif Pendidikan Karakter   
Pendidikan karakter sebagai sebuah program kurikuler telah dipraktekan di sejumlah negara. Studi J. Mark Halstead dan Monica J. Taylor (2000) menunjukkan  bagaimana pembelajaran dan pengajaran nilai-nilai sebagai cara membentuk karakter terpuji telah dikembangkan di sekolah-sekolah di Inggris. Peran sekolah yang menonjol terhadap pembentukan karakter berdasarkan nilai-nilai tersebut ialah dalam dua hal yaitu:
“to build on and supplement the values children have already begun to develop by offering further exposure to a range of values that are current in society (such as equal opportunities and respect for diversity); and to help children to reflect on, make sense of and apply their own developing values (Halstead dan Taylor, 2000: 169).”
Untuk membangun dan melengkapi nilai-nilai yang telah dimiliki anak agar berkembang  sebagaiamana nilai-nilai tersebut juga hidup dalam masyarakat, serta agar anak mampu merefleksikan, peka, dan mampu menerapkan nilai-nilai tersebut, maka pendidikan karakter tidak bisa berjalan sendirian. Dalam kasus di Inggris, review penelitian tentang pengajaran nilai-nilai selama dekade 1990-an memperlihatkan bahwa pendidikan karakter yang diusung dengan kajian nilai-nilai dilakukan dengan program lintas kurikulum. Halstead dan Taylor (2000: 170-173) menemukan bahwa nilai-nilai yang diajarkan tersebut juga disajikan dalam pembelajaran Citizenship; Personal, Social and Health Education (PSHE); dan mata pelajaran lainnya seperti Sejarah, Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu Alam dan Geografi, Desain dan Teknologi, serta Pendidikan Jasmani dan Olahraga.
”Karakter warga negara yang baik” merupakan tujuan universal yang ingin dicapai dari pendidikan kewarganegaraan di negara-negara manapun di dunia. Meskipun terdapat ragam nomenklatur pendidikan kewarganegaraan di sejumlah negara (Kerr, 1999; Cholisin, 2004; Samsuri, 2004, 2009) menunjukkan bahwa pembentukan karakter warga negara yang baik tidak bisa dilepaskan dari kajian pendidikan kewarganegaraan itu sendiri. Sebagai contoh, di Kanada pembentukan karakter warga negara yang baik melalui pendidikan kewarganegaraan diserahkan kepada pemerintah negara-negara bagian. Di negara bagian Alberta (Kanada) kementerian pendidikannya telah memberlakukan kebijakan pendidikan karakter bersama-sama pendidikan karakter melalui implementasi dokumen The Heart of the Matter: Character and Citizenship Education in Alberta Schools (2005). Dalam konteks Indonesia, di era Orde Baru pembentukan karakter warga negara nampak ditekankan kepada mata pelajaran seperti Pendidikan Moral Pancasila (PMP) maupun Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) bahkan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Di era pasca-Orde Baru, kebijakan pendidikan karakter pun ada upaya untuk ”menitipkannya” melalui Pendidikan Kewarganegaraan di samping Pendidikan Agama.
Persoalannya apakah nilai-nilai pembangun karakter yang diajarkan dalam setiap mata pelajaran harus bersifat ekplisit ataukah implisit saja? Temuan Halstead dan Taylor (2000) pun menampakkan perdebatan terhadap klaim-klaim implementasi pengajaran nilai-nilai moral dalam Kurikulum Nasional di Inggris (terutama di era Pemerintahan Tony Blair). Klaim-klaim tersebut antara lain menyatakan pentingnya:
•    Sejarah sebagai sebuah alat untuk membantuk siswa mengembangkan toleransi atau komitmen rasional terhadap nilai-nilai demokratis.
•    Bahasa Inggris sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan kemandirian dan menghormati orang lain
•    Pengajaran Bahasa Modern untuk menjamin kebenaran dan integritas personal dalam berkomunikasi
•    Matematika sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan tanggung jawab sosial
•    Ilmu Alam dan Geografi sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan sikap-sikap tertentu terhadap lingkungan
•    Desain dan Teknologi sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan nilai-nilai multikultural dan anti-rasis
•    Ekspresi Seni sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan kualitas fundamental kemanusiaan dan tanggapan spiritual terhadap kehidupan
•    Pendidikan Jasmani dan Olah Raga sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan kerjasama dan karakter bermutu lainnya (diadaptasikan dari Halstead dan Taylor, 2000: 173).
Paparan tersebut memperkuat alasan bahwa pendidikan karakter merupakan program aksi lintas kurikulum. Dengan demikian, pendidikan karakter dapat diselenggarakan sebagai program kurikuler yang berdiri sendiri (separated subject) dan lintas kurikuler (integrated subject). Namun, pendidikan karakter juga dapat dilaksanakan semata-mata sebagai bagian dari program ekstra-kurikuler seperti dalam kegiatan kepanduan, layanan masyarakat (community service), maupun program civic voluntary dalam tindakan insidental seperti relawan dalam mitigasi bencana alam.
Pendidikan karakter sebagai sebuah program kurikuler dapat didekati dari perspektif programatik maupun teoritis.
a.  Perspektif programatik
1. Habit versus Reasoning. Beberapa perspektif menekankan kepada pengembangan penalaran dan refleksi moral seseorang, perspektif lainnya menekankan kepada mempraktikan perilaku kebajikan hingga menjadi kebiasaan (habitual). Adapula yang melihat keduanya sebagai hal penting.
2. ”Hard” versus ”Soft” virtues. Pertanyaan-pertanyaan: apakah disiplin diri, kesetiaan (loyalitas) sungguh-sungguh penting? atau, apakah kepedulian, pengorbanan, persahabatan sangat penting? Kecenderungannya untuk menjawab YA untuk kedua pertanyaan tersebut.
3. Focus on the individual versus on the environment or community. Apakah karakter yang tersimpan pada individu ataukah karakter yang tersimpan dalam norma-norma dan pola-pola kelompok atau konteks? Jawabnya, memilih kedua-duanya (Schaps & Williams, 1999 dalam Williams, 2000: 35).
b. Perspektif Teoritis
1. Community of care (Watson)
2. constructivist approach to sociomoral development (DeVries)
3. child development perspectives (Berkowitz)
4. eclectic  approach (Lickona)
5. traditional perspective (Ryan) (the National Commission on Character Education dalam Williams, 2000: 36)
D. Instrumen Efektivitas Pendidikan Karakter
Character Education Partnership (2003) telah mengembangkan standar mutu Pendidikan Karakter sebagai alat evaluasi diri terutama bagi lembaga (sekolah/kampus) itu sendiri.  Instrumen berupa skala Likert (0 – 4) dengan memuat 11 prinsip sebagai berikut:
1. Effective  character education promotes core ethical values as the basis of  good character.
2. Effective  character education defines “character” comprehensively to include thinking, feeling and behavior.
3. Effective  character education uses a comprehensive, intentional, and proactive approach to character development.
4. Effective  character education creates a caring school community.
5. Effective  character education provides students with opportunities for moral action.
6. Effective  character education includes a meaningful and challenging academic curriculum that respects all learners, develops their character, and helps them succeed.
7. Effective  character education strives to develop students’ self-motivation.
8. Effective  character education engages the school staff as a learning and moral community that shares responsibility for character  education and attempts to adhere to the same  core values that guide the education of students.
9. Effective  character education fosters shared moral leadership and long-range support of the character education initiative.
10. Effective  character education engages families and community members as partners in the character-building effort.
11. Effective  character education assesses the character of the school, the school staff’s functioning as character educators, and the extent to which students manifest good character. (Character Education Partnership, 2003:5-15)
Jika ke-11 prinsip tersebut diadaptasikan  sebagai cara mengukur efektivitas pendidikan karakter , maka pendidikan karakter telah diupayakan untuk:
1. mempromosikan inti nilai-nilai etis sebagai dasar karakter yang baik (nilai-nilai etis yang pokok dapat berasal dari ajaran agama, kearifan lokal, maupun falsafah bangsa).
2. mengartikan “karakter” secara utuh termasuk pemikiran, perasaan dan perilaku (cipta, rasa, karsa dan karya dalam slogan pendidikan di UNY).
3. menggunakan pendekatan yang komprehensif, bertujuan dan proaktif untuk perkembangan karakter.
4. menciptakan suatu kepedulian pada masyarakat kampus.
5. memberikan para mahasiswa peluang untuk melakukan tindakan moral.
6. memasukkan kurikulum akademik yang bermakna dan menantang dengan menghormati semua peserta didik, mengembangkan kepribadiannya, dan membantu mereka berhasil.
7. mendorong pengembangan motivasi diri mahasiswa.
8. melibatkan staf/karyawan kampus sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggungjawab untuk pendidikan karakter serta berupaya untuk mengikuti nilai-nilai inti yang sama yang memandu pendidikan para mahasiswa.
9. memupuk kepemimpinan moral dan dukungan jangka-panjang terhadap inisiatif pendidikan karakter.
10. melibatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter.
11. menilai karakter kampus, fungsi staf kampus sebagai pendidik karakter, dan memperluas kesempatan para mahasiswa untuk menampilkan karakter yang baik.
Efektivitas implementasi program juga dipengaruhi oleh bagaimana strategi-strategi pembelajarannya dilakukan.  Ada beberapa model dan strategi pembelajaran pendidikan karakter yang dapat dipergunkan, antara lain:
1. Consensus building (Berkowitz, Lickona)
2. Cooperative learning (Lickona, Watson, DeVries, Berkowitz)
3. Literature (Watson, DeVries, Lickona)
4. Conflict resolution (Lickona, Watson, DeVries, Ryan)
5. Discussing and Engaging students in moral reasoning.
6. Service learning (Watson, Ryan, Lickona, Berkowitz) (Williams, 2000: 37)
Di luar model pembelajaran karakter tersebut, ada beberapa model penting lainnya sehingga pendidikan karakter dapat efektif. Mengikuti Halstead dan Taylor (2000), pertama, adalah pendidikan karakter melalui kehidupan sekolah/kampus; Visi-misi sekolah/kampus; teladan guru/dosen, dan penegakan aturan-aturan dan disiplin. Model ini menekankan pentingnya dibangun kultur sekolah/kampus yang  kondusif untuk penciptaan iklim moral yang diperlukan sebagai direct instruction, dengan melibatkan semua komponen penyelenggara pendidikan. Ini sebenarnya mirip dengan kesebelas instrumen efektivitas pendidikan karakter yang dirumuskan oleh Character Education Partnership (2003) di atas.
Kedua, penggunaan metode di dalam pembelajaran itu sendiri. Metode-metode yang dapat diterapkan antara lain dengan problem solving, cooperative learning dan  experience-based projects yang diintegrasikan melalui pembelajaran tematik dan diskusi untuk menempatkan nilai-nilai kebajika ke dalam praktek kehidupan, sebagai sebuah pengajaran bersifat formal (Halstead dan Taylor, 2000: 181). Metode bercerita, Collective Worship (Beribadah secara Berjamaah), Circle Time (Waktu lingkaran), Cerita Pengalaman Perorangan, Mediasi Teman Sebaya, atau pun Falsafah untuk Anak (Philosophy for Children) dapat digunakan sebagai alternatif pendidikan karakter (Halstead dan Taylor, 2000)
           Berdasarkan pada pemikiran-pemikiran dan prinsip-prinsip tersebut maka dapat dimengerti bahwa pendidikan karakter bangsa menghendaki keterpaduan dalam pembelajarannya dengan semua mata pelajaran. Pendidikan karakter bangsa diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran, dengan demikian akan menghindarkan adanya "mata pelajaran baru , alat kepentingan politik, dan pelajaran hafalan yang membosankan."
E. Pendidikan Karakter Bangsa dalam Keterpaduan Pembelajaran
Pendidikan karakter bangsa dalam keterpaduan pembelajaran dengan semua mata pelajaran sasaran integrasinya adalah materi pelajaran, prosedur penyampaian, serta pemaknaan pengalaman belajar para siswa. Konsekuensi dari pembelajaran terpadu, maka modus belajar para siswa harus bervariasi sesuai dengan karakter masing-masing siswa Variasi belajar itu dapat berupa membaca bahan rujukan, melakukan pengamatan, melakukan percobaan, mewawancarai nara sumber, dan sebagainya dengan cara kelompok maupun individual.
Terselenggaranya variasi modus belajar para siswa perlu ditunjang oleh variasi modus penyampaian pelajaran oleh para guru. Kebiasaan penyampaian pelajaran secara eksklusif dan pendekatan ekspositorik hendaknya dikembangkan kepada pendekatan yang lebih beragam seperti diskoveri dan inkuiri. Kegiatan penyampaian informasi, pemantapan konsep, pengungkapan pengalaman para siswa melalui monolog oleh guru perlu diganti dengan modus penyampaian yang ditandai oleh pelibatan aktif para siswa baik secara intelektual (bermakna) maupun secara emosional (dihayati kemanfaatannya) sehingga lebih responsif terhadap upaya mewujudkan tujuan utuh pendidikan. Dengan bekal varisai modus pembelajaran tersebut, maka skenario pembelajaran yang di dalamnya terkait pendidikan karakter bangsa seperti contoh berikut ini dapat dilaksanakan lebih bermakna.
Penempatan Pendidikan karakter bangsa diintegrasikan dengan semua mata pelajaran tidak berarti tidak memiliki konsekuensi. Oleh karena itu, perlu ada komitmen untuk disepakati dan disikapi dengan saksama sebagai kosekuensi logisnya. Komitmen tersebut antara lain sebagai berikut. Pendidikan karakter bangsa (sebagai bagian dari kurikulum) yang terintegrasikan dalam semua mata pelajaran, dalam proses pengembangannya haruslah mencakupi tiga dimensi yaitu kurikulum sebagai ide, kurikulum sebagai dokumen, dan kurikulum sebagai proses (Hasan, 2000) terhadap semua mata pelajaran yang dimuati pendidikan karakter bangsa.
Dalam pembelajaran terpadu agar pembelajaran efektif dan berjalan sesuai harapan ada persyaratan yang harus dimiliki yaitu (a) kejelian profesional para guru dalam mengantisipasi pemanfaatan berbagai kemungkinan arahan pengait yang harus dikerjakan para siswa untuk menggiring terwujudnya kaitan-kaitan koseptual intra atau antarmata bidang studi dan (b) penguasaan material terhadap bidang-bidang studi yang perlu dikaitkan (Joni, 1996). Berkaitan dengan Pendidikan karakter bangsa sebagai pembelajaran yang terpadu dengan semua mata pelajaran arahan pengait yang dimaksudkan dapat berupa pertanyaan yang harus dijawab atau tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh para siswa yang mengarah kepada perkembangan pendidikan karakter bangsa dan pengembangan kualitas kemanusiaan.
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan landasan teori dan pembahasan yang terurai ditas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Cukup beralasan bila Pendidikan karakter bangsa dalam pembelajarannya diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran. Alasan-alasan itu adalah karena meningkatkan akhlak luhur para siswa adalah tanggung jawab semua guru, semua guru harus menjadi teladan yang berwibawa, tujuan utuh pendidikan adalah membentuk sosok siswa secara utuh, pencapaian pendidikan harus mencakupi dampak instruksional dan dampak pengiring.
2. Implementasi Pendidikan karakter bangsa terintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran, pengembangannya lebih memadai pada model kurikulum terpadu dan pembelajaran terpadu dengan menentukan center core pada mata pelajaran yang akan dibelajarkan.
3. Proses pengembangan Pendidikan karakter bangsa sebagai pembelajaran terpadu harus diproses seperti kuriklum lainya yaitu sebagai ide, dokumen, dan proses; kejelian profesional dan penguasaan materi; dukungan pendidikan luar sekolah; arahan spontan dan penguatan segera; penilaian beragam; difusi, inovasi dan sosialisasi adalah komitmen-komitmen yang harus diterima dan disikapi dalam pencanangan pembelajaran terpadu Pendidikan karakter bangsa.
Saran-Saran
1. Keterpaduan pendidikan karakter adalah kegiatan pendidikan. Pendidikan karakter diharapk menjadi kegiatan-kegiatan diskusi, simulasi, dan penampilan berbagai kegiatan sekolah untuk itu guru diharapkan lebih aktif dalam pembelajarannya
2. Lingkungan sekolah yang positif membantu membangun karakter. Untuk itu benahi lingkungan sekolah agar menjadi lingkungan yang positif.
3. Guru harus disiplin lebih dulu siswa pasti akan mengikuti disiplin
Daftar Rujukan
Rachman, Maman. 2000. Reposisi, Reevaluasi, dan Redefinisi Pendidikan Nilai Bagi Generasi Muda Bangsa. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Tahun Ke-7
Degeng, S Nyoman,1989,Taksonomi Variabel , Jakarta, Depdikbud.
Depdiknas, 2003, Undang-undang No. 20 tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, www.depdiknas.go.id
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Di Indonesia _ infodiknas.com.htm
makalah-kurikulum-pendidikan-agama.html
Character Education Partnership. (2003). Character Education Quality Standards. Washington: Character Education Partnership
Samsuri. (2007). “Civic Education Berbasis Pendidikan Moral di China.”  Acta Civicus, Vol. 1 No. 1, Oktober.

No comments:

Post a Comment