Wednesday 24 January 2018

Makalah Pemekaran Daerah




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
PP 129 Tahun 2000 menyebutkan bahwa pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan Daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui: peningkatan pelayanan kepada masyarakat, percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban, serta peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
Terjadinya berbagai konflik di masa transisi pasca pemekaran telah menjauhkan atau  paling tidak memperlambat tujuan pemekaran daerah. Di samping itu, dari hasil studi yang dilakukan penulis bersama Tim dari Direktorat Otonomi Daerah BAPPENAS tahun 2004, ditemukan bahwa belum meningkatnya pelayanan kepada masyarakat di beberapa daerah otonom baru disamping karena persoalan konflik tadi diantaranya diakibatkan juga oleh persoalan kelembagaan, infrastruktur, dan Sumber Daya Manusia.
Dalam aspek kelembagaan, ditemui bahwa beberapa daerah otonom baru saat membentuk unit-unit organisasi pemerintah daerah tidak sepenuhnya mempertimbangkan kondisi daerah dan kebutuhan masyarakat. Pembentukan daerah otonom baru sepertinya menjadi sarana bagi-bagi jabatan. Terlihat juga adanya kelambatan pembentukan instansi vertikal, serta kurangnya kesiapan institusi legislatif sebagai partner pemerintah daerah.
Untuk infrastruktur, sebagian besar daerah otonom baru belum didukung oleh prasarana dan sarana pemerintahan yang memadai. Banyak kantor pemerintahan menempati gedung-gedung sangat sederhana yang jauh dari layak. Ditemui di beberapa daerah, aula sederhana disekat-sekat papan triplek untuk ditempati beberapa dinas.
Dalam hal Sumber Daya Manusia secara kuantitatif relatif tidak ada masalah, walaupun masih juga ditemui ada Kantor Bappeda yang hanya diisi oleh 2 (dua) orang, yaitu 1 (satu) orang Kepala Bappeda dan 1 (satu) orang staf.  Secara kualitas yang menonjol adalah penempatan pegawai yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan, misalnya ditemui ada Kepala Dinas Perhubungan berlatar belakang Sarjana Sastra. 
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kondisi pemekaran daerah di Indonesia dan factor yang mempengaruhinya ?
2.      Apa dampak dari pemekaran daerah dan solusi yang tepat dalam mengatasi pemekaran daerah ?
BAB II
KAJIAN TEORI
A.    Pengertian Pemekaran Daerah
Analisis tentang wilayah atau daerah belum banyak ditemukan di dalam literatur-literatur Ilmu Sosial sehingga di ditemukan sedikit kesulitan di dalam merumuskan konsep-konsep teoritik tentang Daerah. Kemudian antara sebutan Daerah dan Wilayah tidak berhasil ditemukan adanya perbedaan, bahkan kedua sebutan ini sering dipertukarkan di dalam pemakaian sehari-hari. Oleh para ahli, batasan mengenai ilmu wilayah diartikan sebagai berikut :
Ilmu wilayah adalah suatu ilmu yang mempelajari wilayah terutama sebagai suatu sistem, khususnya yang menyangkut hubungan interaksi dan interpendensi antara subsistem utama, ekosistem dengan sub sistem utama sosial sistem, serta kaitannya dengan wilayah-wilayah lainnya dalam membentuk suatu kesatuan wilayah guna pengembangan termasuk penjagaan kelestarian wilayah tersebut (Sutami,1997).
Lebih lanjut beberapa ahli mendefinisikan wilayah sangat berbeda satu sama lain karena kepentingan dan latar belakang yang berbeda pula. Sebagaimana dikutip oleh Hadi Sabari (2000) dari beberapa pakar berikut ini : misalkan saja T.J.Wofter yang mengatakan bahwa suatu wilayah adalah daerah tertentu yang di dalamnya tercipta homogenitas struktur dan sosial sebagai perwujudan kombinasi antara faktor-faktor lingkungan dan demografi.
Kemudian R.S. Platt yang berpendapat bahwa :
suatu wilayah adalah daerah tertentu yang keberadaannya dikenal berdasarkan homogenitas umum baik atas dasar karakter lahan maupun huniannya. Selanjutnya P. Vidal dela Blache, bahwa :
wilayah adalah tempat (domain) tertentu yang di dalamnya terdapat banyak sekali hal yang berbeda beda, namun secara artifisial bergabung bersama-sama, saling menyesuaikan untuk membentuk kebersamaan. Berikutnya A.J. Herbertson, yang mengartikan wilayah sebagai bagian dari bagian yang tertentu dari permukaan bumi yang mempunyai sifat khas tertentu sebagai akibat dari adanya hubungan-hubungan khusus antara komplek lahan, air, udara, tanaman, binatang dan manusia sendiri.
Taylor yang melihat wilayah dari penampakan karakteristik memberikan batasan wilayah yaitu sebagai suatu daerah tertentu di permukaan bumi yang dapat dibedakan dengan daerah tetangganya atas dasar kemampuan karakteristik atau properti yang menyatu.
B.     Pemekaran Daerah di Indonesia
Pemekaran daerah di Indonesia adalah pembentukan wilayah administratif baru di tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten dari induknya. Landasan hukum terbaru untuk pemekaran daerah di Indonesia adalah UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selengkapnya, dalam 5 tahun saja, rakyat Indonesia harus memilih satu presiden dan satu wakil presiden, 33 pasang gubernur dan wakil gubernur, 398 bupati dan wakil bupati, 93 walikota dan wakil walikota serta sedikitnya 27 ribu kepala desa. Selama lima tahun itu pula, rakyat juga mengikuti pemilihan anggota legislatif. Dalam pemilu 2009 – 2014, rakyat kita telah memilih 132 anggota DPD, 560 anggota DPR, 2.005 anggota DPRD provinsi dan 15.750 anggota DPRD kabupaten/kota.
C.     Faktor Yang Mempengaruhi Pemekaran Daerah
Eugene Bardach di dalam bukunya yang sangat provokatif yaitu The Implementation Game (Jones,1996) mengatakan bahwa :   
Adalah cukup sulit untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya bagus di atas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakkan bagi telinga para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya. Dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk dan cara yang memuaskan semua orang termasuk mereka yang dianggap sebagai klien.
Disini Bardach bermaksud melukiskan kesulitan-kesulitan dalam mencapai kesepakatan di dalam proses kebijakan publik dan menerapkan kebijakan tersebut. Hal ini terlihat pada pelaksanaan kerja serta pemindahan dari tujuan yang disepakati ke proses pencapaian tujuan tersebut.
Jones sendiri menilai bahwa dalam Implementasi Kebijakan, pergeseran atau pemindahan yang dimaksudkan oleh Bardach tadi merupakan salah satu masa tenggang yang populer dalam proses Kebijakan Publik, yaitu pergeseran dari aspek politik ke aspek administrasi. Dengan demikian cukup penting untuk diakui bahwa tidak ada gambaran yang jelas tentang kebijakan umum di dalam praktek. Pada bagian akhir dari penjelasannya, Bardach juga mengatakan bahwa proses kesepakatan untuk menyetujui suatu program tertentu jarang memecahkan masalah yang memuaskan bagi setiap orang.
Hogwood dan Gunn (Wahab,2002) secara garis besar menjelaskan bahwa kegagalan suatu kebijakan (policy failure) dapat dikelompokkan menjadi dua katagori. Pertama, yaitu tidak terimplementasikannya kebijakan itu (non implementation gap) dan Implementasi Kebijakan yang tidak berhasil (unsuccesfull implementation). Tidak terimplementasinya kebijakan berarti bahwa suatu kebijakan tidak berjalan sesuai dengan harapan, bahkan bisa diakibatkan karena pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam implementasi tidak bersedia bekerjasama, atau sedemikian luasnya jangkauan yang ingin dicapai oleh kebijakan.
Masih menurut Hogwood dan Gunn, agar Implementasi Kebijakan dapat dilaksanakan dengan baik maka harus memperhatikan faktor-faktor berikut ini yaitu:
1.      kondisi eksternal yang dihadapi organisasi dan instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan dan kendala;
2.      untuk melaksanakan kebijakan harus tersedia waktu dan sumber-sumber yang memadai
3.      keterpaduan antar sumber daya yaitu manusia, dana dan fasilitas-fasilitas pendukung lainnya
4.      kebijakan yang di implementasikan harus didasari hubungan kausalitas yang erat
5.      hubungan kausalitas harus bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya
6.      hubungan saling ketergantungan harus kecil
7.      pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan
8.      tugas-tugas harus terperinci dan ditempatkan pada urutan yang tepat;
9.      komunikasi dan koordinasi yang sempurna dan
10.  pihak-pihak yang memiliki wewenang dapat menuntut dan memperoleh kepatuhan kewenangan.
Menurut Mazmanian dan Sabatier (Wahab,2002) dalam rangka memformulasikan penelitian tentang Implementasi Kebijakan hal terpenting adalah merancang dan mengidentifikasikan variabel-variabel yang dianggap penting, kemudian menetapkan varibel mana yang paling mempengaruhi dalam menentukan berhasil atau gagalnya suatu kebijakan. Masih menurut kedua ahli tadi, Sabatier dan Mazmanian (Wibawa,1994), bahwa variabel-variabel yang dapat mempengaruhi berhasil atau gagalnya suatu kebijakan adalah sebagai berikut :
1.      mudah atau tidaknya masalah yang akan dikerjakan
2.      kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat proses implementasi kebijakan
3.      pengaruh langsung berbagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan tersebut.
D.    Tinjauan Pemekaran Daerah
Pemekaran daerah adalah suatu proses membagi satu daerah administratif (daerah otonom) yang sudah ada menjadi dua atau lebih daerah otonom baru berdasarkan UU RI nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hasil amandemen UU RI nomor 22 tahun 1999. Landasan pelaksanaannya didasarkan pada PP nomor 129 tahun 2000.
Untuk melihat perkembangan suatu daerah pemekaran, diperlukan adanya perbandingan kinerja daerah tersebut sebelum dan sesudah pemekaran. Dari hal ini akan terlihat, apakah terjadi perubahan (kemajuan) yang signifikan pada suatu daerah setelah dimekarkan. Pendekatan semacam ini dapat dianggap kurang tepat bila tidak ada pembanding yang setara. Di samping itu, perbandingan dapat dilakukan antara daerah induk dan DOB sehingga dapat dilihat bagaimana dampak yang terjadi di kedua daerah tersebut setelah pemekaran. Perbandingan juga dilakukan terhadap perkembangan rata-rata daerah kabupaten/kota dalam satu propinsi yang sama. Hal ini dimaksudkan untuk melihat secara umum kondisi daerah DOB, daerah induk. maupun daerah sekitarnya.
Perbandingan perkembangan pemekaran wilayah dapat dilihat pada beberapa aspek yaitu:
1.      kinerja perekonomian daerah;
2.      kinerja keuangan daerah;
3.      kinerja pelayanan publik; serta
4.      kinerja aparatur pemerintah daerah.
E.     Tujuan Pemekaran Daerah
Pemekaran daerah, yaitu pemisahan diri suatu daerah dari induknya dengan tujuan mendapatkan status yang lebih tinggi dan meningkatkan pembangunan daerah. Contohnya, pemekaran daerah dapat meningkatkan status kekuasaan, pemekaran daerah juga dapat memperbesar peluang menjadi PNS, dengan adanya otonomi daerah, memungkinkan sebagian orang menikmati kas daerah, selain itu juga pemekaran daerah dapat menggali setiap potensi kebudayaan atau sumber daya alam dari setiap daerah atau provinsi masing – masing.
BAB III
PEMBAHASAN
A.    Kondisi Pemekaran Daerah di Indonesia
Seperti yang sudah kita jelaskan pada bab II, Pemekaran daerah di Indonesia adalah pembentukan wilayah administratif baru di tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten dari induknya. Landasan hukum terbaru untuk pemekaran daerah di Indonesia adalah UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
1.      Sejarah pemekaran provinsi
a.       Era perjuangan kemerdekaan (1945-1949)
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memiliki 8 provinsi, yaitu: SumatraBorneo (Kalimantan), Jawa BaratJawa TengahJawa TimurSulawesiMaluku, dan Sunda Kecil. Pada masa pergerakan kemerdekaan (1945-1949), Indonesia mengalami perubahan wilayah akibat kembalinya Belanda untuk menguasai Indonesia, dan sejumlah "negara-negara boneka" dibentuk Belanda dalam wilayah negara Indonesia.
b.      Era Republik Indonesia Serikat (1949-1950)
Hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag tahun 1949, Belanda mengakui Indonesia dalam bentuk serikat, dimana terdiri dari 15 negara bagian plus 1 Republik Indonesia. Beberapa bulan kemudian, sejumlah negara-negara bagian menggabungkan diri ke negara bagian Republik Indonesia.
c.       Era Demokrasi Terpimpin dan Orde Lama (1950-1966)
Pada tanggal 17 Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Berikut adalah perkembangan pemekaran wilayah Indonesia pada kurun waktu 1950-1966:
1)      Tahun 1950, Provinsi Sumatra dipecah menjadi Provinsi Sumatera Utara (termasuk di dalamnya Aceh), Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Sementara, Yogyakarta mendapat status provinsi "Daerah Istimewa".
2)      Tahun 1956, Provinsi Kalimantan dipecah menjadi provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.
3)      Tahun 1957, Provinsi Sumatera Tengah dipecah menjadi Provinsi Jambi, Riau, dan Sumatera Barat. Sementara Jakarta mendapat status provinsi "Daerah Khusus Ibukota". Pada tahun yang sama pula, Aceh kembali dibentuk provinsi terpisah dari Provinsi Sumatera Utara (pada tahun 1959 Provinsi Aceh mendapat status provinsi "Daerah Istimewa").
4)      Tahun 1959, Provinsi Sunda Kecil dipecah menjadi Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Pada tahun yang sama, dibentuk provinsi Kalimantan Tengah (dari Kalimantan Selatan).
5)      Tahun 1960, Provinsi Sulawesi dipecah menjadi Provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan.
6)      Tahun 1963PBB menyerahkan Irian Barat ke Indonesia
7)      Tahun 1964, dibentuk Provinsi Lampung (pemekaran dari Sumatera Selatan). Pada tahun yang sama, dibentuk pula Provinsi Sulawesi Tengah (pemekaran dari Sulawesi Utara) dan Provinsi Sulawesi Tenggara (pemekaran dari Sulawesi Selatan).
d.      Era Orde Baru (1966-1998)
1)      Tahun 1967 Provinsi Bengkulu dimekarkan dari Provinsi Sumatera Selatan
2)      Tahun 1969 Irian Barat secara resmi menjadi provinsi ke-26 Indonesia
3)      Pada Tahun 1969-1975, Indonesia memiliki 26 provinsi, dimana 2 diantaranya berstatus Daerah Istimewa (Aceh dan Yogyakarta), dan 1 berstatus Daerah Khusus Ibukota (Jakarta).
4)      Tahun 1976Timor Timur menjadi bagian dari Indonesia dan sebagai provinsi ke-27.
e.       Era 1999-sekarang
Pada tahun 1999, Timor Timur memisahkan diri dari Indonesia dan berada di bawah PBB hingga merdeka penuh pada tahun 2002, dan Indonesia kembali memiliki 26 provinsi. Sementara itu, pada era reformasi terdapat tuntutan pemekaran sejumlah provinsi di Indonesia. Pemekaran provinsi di Indonesia sejak tahun 1999 adalah sebagai berikut:
1)      Maluku Utara dengan ibukota Sofifi-Ternate, dimekarkan dari Provinsi Maluku, menjadi provinsi Indonesia ke-27 pada tanggal 4 Oktober 1999
2)      Banten dengan ibukota Serang, dimekarkan dari Provinsi Jawa Barat, menjadi provinsi Indonesia ke-28 pada tanggal 17 Oktober 2000
3)      Kepulauan Bangka Belitung dengan ibukota Pangkal Pinang, menjadi provinsi Indonesia ke-29 pada tanggal 4 Desember 2000
4)      Gorontalo dengan ibukota Kota Gorontalo, dimekarkan dari Provinsi Sulawesi Utara, menjadi provinsi Indonesia ke-30 pada tanggal 22 Desember 2000
5)      Irian Jaya Barat dengan ibukota Manokwari, dimekarkan dari Provinsi Papua, menjadi provinsi Indonesia ke-31 pada tanggal 21 November 2001. Kini Irian Jaya Barat berganti nama menjadi Papua Barat.
6)      Pada tanggal 11 November 2001 pula, Provinsi Papua dimekarkan pula provinsi baru Irian Jaya Tengah. Namun pemekaran ini akhirnya dibatalkan karena mendapat banyak tentangan.
7)      Kepulauan Riau dengan ibukota Tanjung Pinang, dimekarkan dari Provinsi Riau, menjadi provinsi Indonesia ke-32 pada tanggal 25 Oktober 2002
8)      Sulawesi Barat dengan ibukota Mamuju, dimekarkan dari Provinsi Sulawesi Selatan, menjadi provinsi Indonesia ke-33 pada tanggal 5 Oktober 2004.
f.       Pemekaran Kabupaten dan kota
Pemekaran wilayah atau pembentukan daerah otonomi baru semakin marak sejak disahkannya UU No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004. Hingga Desember 2008 telah terbentuk 215 daerah otonom baru yang terdiri dari tujuh provinsi, 173 kabupaten, dan 35 kota. Dengan demikian total jumlahnya mencapai 524 daerah otonom yang terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota.
B.     Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pemekaran Daerah di Indonesia
1.      Kinerja Ekonomi Daerah
Fokus kinerja ekonomi digunakan untuk mengukur, apakah setelah pemekaran terjadi perkembangan dalam kondisi perekonomian daerah atau tidak. Indikator yang akan digunakan sebagai ukuran kinerja ekonomi daerah adalah:
a.       Pertumbuhan PDRB Non-migas (ECGI)
Indikator ini mengukur gerak perekonomian daerah yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi dihitung dengan menggunakan PDRB harga konstan 2000.
b.      PDRB per Kapita (WELFI)
Indikator ini mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan.
c.       Rasio PDRB Kabupaten Terhadap PDRB Propinsi (ESERI)
Indikator ini melihat seberapa besar tingkat perkembangan ekonomi di satu daerah dibandingkan dengan daerah lain dalam satu wilayah propinsi. Besarnya tingkat perkembangan dikorelasikan dengan perbaikan pada kinerja ekonomi.
d.      Angka Kemiskinan (POVEI)
Pembangunan ekonomi seyogyanya mengurangi tingkat kemiskinan yang diukur menggunakan  head-count index, yaitu persentase jumlah orang miskin terhadap total penduduk. Untuk mengetahui secara umum perkembangan ekonomi daerah maka dibuat Indeks Kinerja Ekonomi Daerah (IKE) yang pada prinsipnya adalah rata-rata dari keempat indikator di atas.
e.       Kinerja keuangan pemerintah daerah
Keuangan pemerintah daerah tidak saja mencerminkan arah dan pencapaian kebijakan fiskal dalam mendorong pembangunan di daerah secara umum, tetapi juga menggambarkan sejauh mana tugas dan kewajiban yang diembankan pada pemerintah daerah (kabupaten) dalam konteks desentralisasi fiskal itu dilaksanakan. Oleh karena itu, evaluasi kinerja keuangan pemerintah daerah dalam konteks pemekaran daerah ini menggunakan indikator-indikator kinerja keuangan yang tidak saja merefleksikan kinerja keuangan dari sisi keuangan pemerintah daerah secara mikro tetapi juga secara makro, sehingga diperoleh indikator-indikator yang terukur, berimbang dan komprehensif. Indikator-indikator yang dimaksud adalah :
1)      Ketergantungan Fiskal (FIDI)
Indikator ini dirumuskan sebagai persentase dari Dana Alokasi Umum (yang sudah dikurangi Belanja Pegawai) dalam Total Pendapatan anggaran daerah.
2)      Kapasitas Penciptaan Pendapatan (FGII)
Proporsi PAD tidak dinyatakan dalam total nilai APBD, namun dinyatakan sebagai persentase dari PDRB kabupaten yang bersangkutan. Hal ini diperlukan untuk menunjukkan kinerja pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah berdasarkan kapasitas penciptaan pendapatan (income generation) masing-masing daerah.
3)      Proporsi Belanja Modal (FCAPEXI)
Indikator ini menunjukkan arah pengelolaan belanja pemerintah pada manfaat jangka panjang, sehingga memberikan multiplier yang lebih besar terhadap perekonomian. Indikator ini dirumuskan sebagai persentase dari Belanja Modal dalam Total Belanja pada anggaran daerah.
4)      Kontribusi Sektor Pemerintah (FCEI)
Indikator ini menunjukkan kontribusi pemerintah dalam menggerakkan perekonomian. Nilainya dinyatakan sebagai persentase Total Belanja Pemerintah dalam PDRB kabupaten yang bersangkutan. Untuk mengetahui secara komprehensif kinerja keuangan pemerintah ini, maka dibuat Indeks.
2.      Kinerja Pelayanan Publik
Evaluasi kinerja pelayanan publik akan difokuskan kepada pelayanan bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Namun harus diingat bahwa dalam waktu yang relatif singkat (5 tahun setelah pemekaran) bisa jadi belum terlihat perubahan yang berarti dalam capaian (outcome) kinerja pelayanan publik ini.
3.      Kinerja Aparatur Pemerintah Daerah
Aparatur pemerintah menjadi hal pokok yang dievaluasi, untuk mengetahui seberapa jauh ketersediaan aparatur dapat memenuhi tuntutan pelayanan kepada masyarakat. Semakin banyak jumlah aparatur yang berhubungan langsung dengan pelayanan publik, semakin baik pula ketersediaan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah.
C.     Dampak Pemekaran Daerah Terhadap Masyarakat di Indonesia
Beberapa hasil evaluasi terhadap pemekaran daerah menunjukkan bahwa kebanyakan daerah-daerah pemekaran secara umum memang tidak berada dalam kondisi awal yang lebih baik dibandingkan daerah induk atau daerah kontrol. Namun setelah lima tahun dimekarkan, ternyata kondisi daerah otonom baru (DOB) juga secara umum masih tetap berada di bawah kondisi daerah induk dan daerah kontrol.
Pertumbuhan ekonomi daerah otonom baru (DOB) lebih fluktuatif dibandingkan dengan daerah induk yang relatif stabil dan terus meningkat. Memang pertumbuhan ekonomi daerah pemekaran (gabungan DOB dan daerah induk) menjadi lebih tinggi dari daerah-daerah kabupaten lainnya, namun masih lebih rendah dari daerah kontrol. Hal ini berarti, walaupun daerah pemekaran telah melakukan upaya memperbaiki perekonomian, di masa transisi membutuhkan proses, belum semua potensi ekonomi dapat digerakkan.
Sebagai leading sector di daerah DOB, sektor pertanian sangat rentan terhadap gejolak harga, baik harga komoditi maupun hal-hal lain yang secara teknis mempengaruhi nilai tambah sektor pertanian. Oleh karena itu, kemajuan perekonomian DOB sangat tergantung pada usaha pemerintah dan masyarakat dalam menggerakkan sektor tersebut. Porsi perekonomian daerah DOB yang lebih kecil dibandingkan daerah lain dalam perekonomian satu wilayah (propinsi) mengindikasikan, bahwa secara relatif daerah DOB belum memiliki peran dalam pengembangan perekonomian regional.
Beberapa dampak sebagai akibat dari pemekaran daerah antara lain :
1.      Penduduk miskin lebih terkonsentrasi pada daerah DOB
Meskipun terjadi pengurangan kemiskinan di seluruh daerah, terlihat bahwa pemekaran mendorong pelepasan penduduk miskin dari daerah induk ke DOB. Data menunjukkan bahwa penduduk miskin justru jadi terkonsentrasi di DOB. Dalam konteks yang lebih luas, peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah DOB belum dapat mengejar ketertinggalannya dari daerah induk, meski kesejahteraan DOB telah relatif sama dengan daerah-daerah kabupaten lainnya. Lebih dari itu, indikator pertumbuhan ekonomi telah menunjukkan bahwa daerah pemekaan (daerah baru dan daerah induk) memiliki pertumbuhan yang lebih baik dari rata-rata daerah secara keseluruhan dan daerah kontrol.
Dari sisi ekonomi, penyebab ketertinggalan daerah DOB dari daerah induk maupun daerah lainnya adalah keterbatasan sumber daya alam, juga keterbatasan sumber daya manusia (penduduk miskin cukup banyak), dan belum maksimalnya dukungan pemerintah dalam menggerakkan perekonomian melalui investasi publik. Masalah-masalah yang dihadapi pada aspek ekonomi cukup beragam dan belum kondusif dalam menggerakkan investasi, pola belanja aparatur, dan pembangunan yang belum sepenuhnya mendukung perekonomian lokal karena masalah tempat tinggal aparatur, pemilihan ibukota kabupaten yang belum dapat menciptakan pusat perekonomian di DOB, keterbatasan berbagai infrastruktur penunjang ekonomi maupun penunjang pusat fasilitas pemerintahan.
2.      Kinerja keuangan daerah otonom baru (DOB)
Secara umum kinerja keuangan daerah otonom baru (DOB) lebih rendah dibandingkan daerah induk. Selama lima tahun kinerja keuangan DOB cenderung konstan, sementara kinerja keuangan daerah induk cenderung meningkat. DOB memiliki ketergantungan fiskal yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah induk, dengan kesenjangan yang semakin melebar. Pemekaran juga mendorong ketergantungan yang lebih besar di daerah pemekaran dibandingkan dengan daerah kontrol maupun kabupaten lain pada umumnya.
Optimalisasi sumber-sumber PAD di daerah DOB relatif lebih rendah dibandingkan daerah induk. Sementara itu, jika dibandingkan dengan daerah kontrol maupun rata-rata daerah, optimalisasi PAD di daerah pemekaran relatif lebih rendah walaupun perbedaannya cukup rendah. Dapat dikatakan bahwa sumbersumber ekonomi yang juga menjadi sumber-sumber PAD di daerah kontrol atau kabupaten lainnya pada umumnya sudah dalam kondisi mantap (steady state).
Dalam periode 2001-2005, kinerja keuangan pemerintah DOB mengalami peningkatan, baik dari sisi penurunan dependensi fiskal maupun dari sisi kontribusi ekonomi. Hanya saja peningkatan kinerja tersebut belum dapat dikatakan optimal karena masih tergolong dalam dependensi fiskal yang tinggi dengan kontribusi ekonomi yang relatif rendah. Hal ini terjadi dalam kondisi investasi pemerintah (capital expenditure) DOB yang relatif lebih besar dibandingkan daerah lainnya. Tentunya ini terkait dengan kenyataan bahwa DOB masih berada dalam fase transisi, baik secara kelembagaan, aparatur maupun infrastruktur pemerintahan.
3.      Kinerja pelayanan public di DOB
Secara umum kinerja pelayanan publik di DOB masih di bawah daerah induk, walaupun kesenjangannya relatif kecil. Kinerja pelayanan publik di DOB plus daerah induk secara umum masih berada di bawah kinerja pelayanan publik di daerah kontrol maupun rata-rata kabupaten. Selama lima tahun terakhir, di semua kategori daerah terlihat kinerja pelayanan publik yang cenderung menurun. Masalah yang dihadapi dalam pelayanan publik ialah :
a.       tidak efektifnya penggunaan dana, terkait dengan kebutuhan dana yang tidak seimbang dengan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang relatif sama,
b.      ketersediaan tenaga pelayanan pada masyarakat karena perkembangan ekonomi dan fasilitas yang terbatas, dan
c.       masih terbatasnya pemanfaatan layanan publik publik yang diberikan.
4.      Kinerja aparatur di daerah DOB
Kinerja aparatur secara keseluruhan menunjukkan fluktuasi di DOB dan daerah induk, meskipun dalam dua tahun terakhir posisi daerah induk masih lebih baik daripada daerah DOB. Jumlah aparatur cenderung meningkat selama lima tahun pemekaran. Kualitas aparatur di DOB masih sangat rendah, meskipun data menunjukkan adanya peningkatan persentase aparat dengan pendidikan minimal sarjana. Daerah DOB belum menunjukkan kinerja sesuai dengan yang diharapkan, karena pada masa transisi tidak ada desain penempatan aparatur yang benar-benar baik. Di samping itu, pembatasan jumlah aparatur yang formasinya ditentukan oleh pusat juga ikut menentukan ketersediaan aparatur.
Masalah-masalah yang ditemui pada pengelolaan aparatur di antaranya: adanya ketidaksesuaian antara aparatur yang dibutuhkan dengan ketersediaan aparatur yang ada, kualitas aparatur yang rendah, aparatur daerah bekerja dalam kondisi underemployment, yakni bekerja di bawah standar waktu yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Pada dasarnya, pemekaran daerah di Indonesia di bentuk dengan tujuan meningkatkan pelayanan untuk masyrakat. Dengan adanya pemekaran daerah di harapakan setiap kebutuhan masyarakat yang harus di penuhi oleh pemerintah dapat di identifikasi dan terkoordinir dengan baik sesuai dengan potensi masing-masing. Namun jika dilihat dari konsepnya, peran pemerintah daerah adalah memberikan pelayanan masyarakat, karena dia merupakan unit yang terdekat dengan masyarakat kesalahan bukan terletak dari kebijakan yang ada, namun lebih kepada kinerja para aparatur yang tidak melaksnakan tugasnya sesuai dengan ketentuan.
Melihat dari contoh kasus diatas, Fenomena tersebut telah menimbulkan sikap pro dan kontra di berbagai kalangan politisi, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, dan di antara para pakar. Mereka memperdebatkan manfaat ataupun kerugian yang timbul dari banyaknya wilayah yang dimekarkan. Berbagai pandangan dan opini disampaikan untuk mendukung sikap masing-masing pihak. Ada yang menyatakan bahwa pemekaran telah membuka peluang terjadinya bureaucratic and political rent-seeking, yakni kesempatan untuk memperoleh keuntungan dana, baik dari pemerintah pusat maupun dari penerimaan daerah sendiri. Hal ini menyebabkan terjadinya suatu perekonomian daerah berbiaya tinggi. Lebih jauh lagi timbul pula tuduhan bahwa pemekaran wilayah merupakan bisnis kelompok elit di daerah yang sekedar menginginkan jabatan dan posisi
Bila melihat sejarah Sumatera Utara, dari zaman Pak Harto sampai sekarang, mayoritas gubernurnya bukan Batak yang beragama Kristen. Kebanyakan Melayu atau Batak muslim. Nah, orang-orang Batak Kristen merasa disingkirkan. Dalam konteks pembangunan wilayah, kita lihat di Sumatera Utara yang berkembang hanya daerah pantai timur. Wilayah pantai barat tertinggal.
Pemerintah kadang berpikir, kalau mereka tidak setuju, nanti DPR akan membalas. Karena itu pemerintah tidak mau repot, tidak mau menghalangi DPR. Makanya pengusul pemekaran daerah mati-matian melobi DPR. Bila lewat pemerintah, jalannya cukup panjang. Ada kemungkinan tidak lolos di tingkat Departemen Dalam Negeri atau Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. Tapi, kalau lewat DPR, pasti lolos karena langsung masuk RUU, dan pemerintah dalam posisi tidak gampang untuk mengatakan tidak.
Beberapa dampak dari pemekaran wilayah berdasrkan contoh kasus di atas adalah :
1.      Hasil pemekaran justru korupsi makin berbiak
Korupsi itu tanda kualitas pelayanan publik buruk. Data pertumbuhan ekonomi daerah hasil pemekaran dengan data di kementerian daerah tertinggal menunjukkan cukup banyak daerah baru langsung masuk kategori daerah tertinggal. Mungkin kita ingat kelaparan di Yahukimo, Papua. Yahukimo adalah hasil pemekaran daerah. Jadi, ketika pemekaran dilakukan, malah muncul kelaparan. Ini berarti layanan publiknya tidak jalan.
2.      Kinerja aparatur yang tidak baik
Mereka belum siap, dan anggaran terbatas. Dana alokasi umum kan dibagikan ke semua kabupaten? Ketika ada pemekaran, dana itu diambilkan dari daerah induk, berkurang masuk ke daerah pemekaran. Karena banyak daerah baru, uang yang diterima per daerah makin kecil. Padahal, daerah punya ongkos tetap yang tidak bisa diapa-apakan. Misalnya, gaji pegawai yang terus bertambah, membangun sarana dan sistem pemerintahan. Uang yang tersisa untuk layan-an publik pun makin kecil. Wajar kalau kualitas layanan menurun karena uang operasional tak banyak lagi.
Mungkin kedua hal tersebut yang membuat mencuatnya permasalahan pro dan kontranya masalah pemekaran daerah
D.    Pemekaran Daerah di Indonesia Menjadi Solusi Pada Ketertinggalan
Laksana pedang bermata dua. Pemekaran daerah sejatinya ditujukan dalam rangka menyelesaikan ketertinggalan, namun di pihak lain seringkali dituding menjadi penyebab bertambahnya jumlah daerah tertinggal. Malah ada yang menilai pemekaran daerah sebagai penyebab ketertinggalan itu sendiri.
Kalau dinilai sebagai penyebab ketertinggalan barangkali tidak tepat. Tapi kalau dikatakan pemekaran daerah dapat menyebabkan bertambahnya jumlah  kabupaten tertinggal, itu ada benarnya.  Lihat misalnya, satu daerah tertinggal dimekarkan menjadi tiga daerah otonom, maka secara administratif, jumlah daerah tertinggal menjadi tiga, yaitu satu daerah induk yang dari awalnya memang sudah tertinggal dan tambahan dua lagi dari daerah otonom baru.
Namun demikian, dimekarkan ataupun tidak, dua wilayah yang menjadi daerah otonom baru tersebut tetap saja tertinggal. Hanya yang pasti, dengan pemekaran ini, kedua wilayah tersebut mempunyai peluang untuk lebih diperhatikan dan  keluar dari ketertinggalan.
Bagaimana tidak, dengan menjadi daerah otonom maka pelayanan masyarakat menjadi lebih dekat dan memiliki anggaran yang dikelola sendiri yang dapat digunakan untuk membangun wilayah tersebut. Sewaktu bergabung dengan daerah induk, boleh jadi alokasi anggaran ke wilayah tersebut sangat kecil.
Penghentian kebijakan pemekaran daerah oleh pemerintah  sementara ini bukanlah masalah daerah. Tapi masalah pusat, karena pusat tidak memiliki cukup dana. Jumlah daerah merupakan angka pembagi dalam formula penentuan Dana Alokasi Umum (DAU). Yang dirugikan sebetulnya daerah induk, karena alokasi APBN untuk daerah menjadi terbagi kepada daerah otonom baru. Namun biasanya, jumlah DAU yang diterima daerah induk setelah pemekaran minimal sama dengan sebelum terjadinya pemekaran, maka kebutuhan dana akibat pemekaran ini menjadi beban tambahan bagi pusat.
Kendati pemekaran daerah membuka peluang untuk menjadi sarana keluar dari ketertinggalan, namun dalam faktanya sekarang masih sulit diwujudkan karena berbagai persoalan yang menyelimuti daerah otonom baru tersebut.
PP 129 Tahun 2000 menyebutkan bahwa pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan Daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui: peningkatan pelayanan kepada masyarakat, percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban, serta peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
Terjadinya berbagai konflik di masa transisi pasca pemekaran telah menjauhkan atau  paling tidak memperlambat tujuan pemekaran daerah. Di samping itu, dari hasil studi yang dilakukan penulis bersama Tim dari Direktorat Otonomi Daerah BAPPENAS tahun 2004, ditemukan bahwa belum meningkatnya pelayanan kepada masyarakat di beberapa daerah otonom baru disamping karena persoalan konflik tadi  diantaranya diakibatkan juga oleh persoalan kelembagaan, infrastruktur, dan Sumber Daya Manusia.
Dalam aspek kelembagaan, ditemui bahwa beberapa daerah otonom baru saat membentuk unit-unit organisasi pemerintah daerah tidak sepenuhnya mempertimbangkan kondisi daerah dan kebutuhan masyarakat. Pembentukan daerah otonom baru sepertinya menjadi sarana bagi-bagi jabatan. Terlihat juga adanya kelambatan pembentukan instansi vertikal, serta kurangnya kesiapan institusi legislatif sebagai partner pemerintah daerah.
Untuk infrastruktur, sebagian besar daerah otonom baru belum didukung oleh prasarana dan sarana pemerintahan yang memadai. Banyak kantor pemerintahan menempati gedung-gedung sangat sederhana yang jauh dari layak. Ditemui di beberapa daerah, aula sederhana disekat-sekat papan triplek untuk ditempati beberapa dinas.
Dalam hal Sumber Daya Manusia secara kuantitatif relatif tidak ada masalah, walaupun masih juga ditemui ada Kantor Bappeda yang hanya diisi oleh 2 (dua) orang, yaitu 1 (satu) orang Kepala Bappeda dan 1 (satu) orang staf.  Secara kualitas yang menonjol adalah penempatan pegawai yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan, misalnya ditemui ada Kepala Dinas Perhubungan berlatar belakang Sarjana Sastra. 
Hal lain yang juga penting adalah persoalan leadership dan kejuangan dari Pimpinan Daerah beserta staf untuk berani hidup “menderita” di daerah baru yang sangat minim fasilitas. Hal ini penting untuk digaris bawahi, karena sampai saat ini banyak Kepala Daerah dan pejabat lainnya dari Daerah Otonom Baru masih lebih banyak tinggal dan berkantor  di ibu kota daerah induk. Kalau begini, kapan melayani  masyarakatnya ?
Beberapa permasalahan yang menyelimuti daerah otonom baru ini tentunya menjadi kendala tersendiri dalam upaya pengentasan daerah tertinggal.
Beberapa pihak terkait, khususnya Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT), sudah seharusnya mempunyai perhatian lebih terhadap permasalahan daerah otonom.
Pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk menindak dan membubarkan daerah otonom yang tidak memiliki kinerja baik. Tindakan tegas itu diperlukan bagi daerah otonom yang tidak bisa mewujudkan peningkatan kualitas layanan publik, kesejahteraan masyarakat, dan demokrasi lokal. Banyaknya pembentukan daerah otonom baru tidak terlepas dari lemahnya kendali pemerintah pusat dalam menjalankan desentralisasi. Kondisi itu dimanfaatkan sebagian aktor politik lokal dan nasional untuk berkontestasi mewujudkan kepentingan politik mereka, termasuk salah satu caranya melalui pemekaran daerah.
Maraknya pemekaran daerah juga didorong motif untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi administrasi pemerintahan akibat wilayah yang luas, sebaran penduduk yang tak merata, serta keinginan untuk memanfaatkan bantuan fiskal dari pemerintah pusat. Hal itu sering kali disertai keinginan untuk mewujudkan homogenitas etnis, agama, ataupun identitas primordial lainnya dalam suatu daerah.
Selain itu, pembentukan setiap tingkatan daerah otonom baru umumnya hanya didasarkan atas syarat minimum pembentukan daerah otonom baru, yaitu lima kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi, lima kecamatan untuk pembentukan satu kabupaten, dan empat kecamatan untuk pembentukan kota.
Pembentukan daerah otonom baru perlu disesuaikan dengan karakter geografisnya, yaitu negara kepulauan tropis yang memiliki keberagaman morfologi wilayah, sebaran penduduk yang tak merata, serta keragaman kondisi sosial budaya, bahasa, hingga agama. Penggunaan perspektif geografis dapat mengindari konflik tata ruang yang muncul pascapemekaran yang banyak terjadi saat ini, baik perebutan wilayah, sengketa perbatasan, maupun pengelolaan fungsional suatu ekosistem tertentu antardaerah.
Sejatinya, proses pemekaran daerah tak dapat dilarang karena kebutuhan untuk memekarkan daerah hingga kini tetap ada akibat luasnya wilayah Indonesia ataupun pertumbuhan wilayah. Hal yang dibutuhkan adalah penataan kembali proses pemekaran daerah. Mekanisme pembentukan daerah otonom baru harus dievaluasi agar proses yang membutuhkan biaya dan tenaga besar itu tidak melenceng dari tujuan utamanya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah tanpa membebani keuangan negara. Agar proses penataan ulang pemekaran daerah itu berlangsung optimal, proses pemekaran daerah harus dihentikan sementara secara total atau dilakukan moratorium. Selama masa itu, proses pemekaran daerah otonom ditinjau ulang, membuat tim penilai yang independen hingga pemberian sanksi tegas bagi daerah otonom yang dinilai gagal.
Penilaian layak tidaknya sebuah calon daerah otonom baru selama ini dilakukan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). Namun, oknum di lembaga itu justru ditengarai menjadi konsultan pemekaran daerah sehingga bermunculan daerah otonom baru yang sebenarnya tak layak. Karena itu, restrukturisasi DPOD diperlukan dengan mengisinya dari kalangan profesional yang independen dan memiliki kemampuan luas tentang otonomi daerah. Lembaga baru inilah yang selanjutnya akan merekomendasikan kepada DPR dan Presiden tentang layak tidaknya sebuah calon daerah baru disahkan. Proses ini juga untuk menghindari dijadikannya isu pemekaran daerah sebagai alat politik untuk bagi-bagi kekuasaan di daerah.
Sanksi juga perlu diterapkan. Jika pemekaran daerah tidak dilarang, penggabungan dan penghapusan sebuah daerah otonom juga tidak perlu ditabukan. Namun, penggabungan dan penghapusan daerah otonom yang tidak bisa melaksanakan kewenangan otonominya itu selama ini sulit dilaksanakan.
Untuk menjamin agar proses pemekaran daerah tidak hanya menghasilkan daerah otonom baru yang buruk, calon daerah otonom baru saat disahkan sebaiknya tidak langsung diberi kewenangan sebagai daerah otonom, tetapi menjadi daerah administratif dahulu. Proses transisi untuk memantau perkembangan daerah ini perlu diberlakukan selama minimal lima tahun sejak pembentukannya.
BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Banyak terjadinya pro dan kontra tentang pemekaran daerah setelah masyrakat melihat dampak positif maupun negative dari pemekaran daerah itu sendiri. Secara umum untuk melihat adanya perkembangan dari pemekaran daearah dapat di lihat dari 4 aspek/faktor yaitu :
1.      kinerja perekonomian daerah;
2.      kinerja keuangan daerah;
3.      kinerja pelayanan publik; serta
4.      kinerja aparatur pemerintah daerah
berdasarkan beberapa hasil evaluasi dari pemekaran daerah, dampak yang timbulkan lebih banyak negatifnya dari pada positifnya. Hal ini lagi-lagi bukan disebabkan oleh kebijakannya otonomi mengenai pemekaran daerah yang salah tetapi lebih kepada kinerja aparatur pemerintah yang terindikasi sesuai dengan aspek-aspek diatas. Terlebih lagi ditambah dengan beberapa contoh kasus yang menyatakan penolakan dari pemekaran daerah karena kecewa dengan kinerja aparatur pemerintah yang ditugaskan disana.
B.     Saran
Beberapa saran yang mungkin bisa dijadikan masukan pelaksanaan  pemekaran daerah kedepannya :
1.      Benahi birokrasi yang ada, tupoksi setiap organisasi yang bergerak untuk pemekaran daerah benar-benar berjalan sesuai dengan yang diharapkan pada Undang Undang No. 22/1999.
2.      Persiapakan semua aparatur pemerintah yang akan terlibat dalam mewujudkan pemekaran daerah
3.      Evaluasi yang ketat setiap pelaksanaan pemekaran daerah. Setelah beberapa tahun, lima tahun misalnya, kalau pemerintah daerah tidak mampu melayani kebutuhan dasar masyarakat, dia harus bergabung dengan daerah induknya kembali, atau dengan tetangganya
DAFTAR PUSTAKA
Hasibuan, Albert. 2002. Otonomi Daerah Peluang dan Tantangan. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Mardiasmo, MBA.dkk. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta : Andi
Syarifin, Pipin. 2005. Pemerintah daerah di Indonesia. Bandung : Pustaka Setia
Wasistiono, Sado. 2003. Kapita selekta manajemen Pemerintah. Bandung : Focus Media
Widodo, Joko. 2001.Good Governance.Surabaya : Insan Cendikia
Darmawan. 2008. Jurnal penelitian : Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007. BAPPENAS
www. http// : Pemekaran daerah dan kesejahteraan masyarakat.htm.
          diakses tanggal 20 Maret 2016
http//:republikaonline-pemekaranwilayah.htm.
diakses tanggal 20 Maret 2016

No comments:

Post a Comment